Kamis, 23 Oktober 2008

Kapitalisme Ekonomi Syariah ?

Dekade ini boleh jadi periode keemasan bagi ekonomi syariah, terutama di Indonesia. Sejak tahun 2000 silam tak kurang 50 lembaga ekonomi berbasis syariah tumbuh dengan suburnya. Hal ini sangat wajar mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Sayangnya, di tengah gemebyar syariah, terselip berbagai kelemahan dan penyimpangan. Apalagi disinyalir lebih dari 80% dari lembaga yang ada belum mampu menjalankan prinsip-prinsip syariah secara utuh.
Kesalahan pertama adalah produk-produk syariah yang dipasarkan justru didominasi oleh produk-produk konsumsi. Murabahah, atau jual beli, entah itu berbentuk KPR, kredit kendaraan, dan sebagainya mendominasi tak kurang dari 70% produk syariah yang ada. Tak beda dengan kredit konsumsi tradisional. Hanya saja elemen bunga disamarkan dengan elemen biaya dan marjin profit. Mestinya, kalau mau fair, produk-produk lain seperti mudharabah, musyarakah, isthisma’, juga tak kalah gencarnya dipasarkan.
Dalam beberapa hal, masyarakat juga sering mengalami kesulitan dalam mengakses produk-produk syariah tersebut. Dengan persyaratan yang rumit serta birokrasi yang berbelit, lembaga syariah bergeser menjadi menara gading yang sulit dijangkau kaum grass root. Padahal, sejatinya, ekonomi syariah lahir untuk mewadahi kaum bawah tersebut.
Beberapa kalangan juga sering mengkritisi sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pembentukan dan penunjukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Seringkali lembaga-lembaga tersebut dicap sebagai produk formalitas belaka mengingat standardisasi skill dan capabilities orang-orang didalamnya tidak jelas. Dewan yang diharapkan dapat berkomitmen penuh dalam mengawasi produk, konsep, kinerja, maupun policy lembaga syariah kinerjanya sering mengecewakan. Anggota-anggotanya yang masih didominasi kyai-kyai sepuh, dirasa kurang mampu mengikuti pergerakan dan perkembangan ekonomi syariah yang bergerak dengan sangat cepatnya.
Di lembaga syariah sendiri, penunjukan dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM) juga masih bias. Prinsip syariah, sejatinya membutuhkan 70% moral heavy, baru diikuti dengan knowledge dan appearance. Namun pada prakteknya, mereka justru dijejali hafalan-hafalan berbahasa arab dan diikutkan pelatihan instan. Terkadang etika bisnis dan konsep islami belum dikuasai secara komprehensif.
Celakanya, kekurangan-kekurangan ini makin diperburuk dengan sikap lembaga keuangan yang ada. Mereka memandang syariah semata-mata sebagai peluang pasar yang layak dimanfaatkan. Tindakan ini tentunya merupakan kejahatan ekonomi karena produk syariah menjadi alat para kapitalis untuk mengeduk untung sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya. Keberpihakan dan komitmen mereka terhadap kelangsungan dan perkembangan syariah itu sendiri masih patut dipertanyakan.
Lebih parah lagi, beberapa bank membuka divisi syariah hanya untuk nasabah privat yang memiliki dana tak kurang dari Rp 500 juta. Jika demikian, tentunya keberpihakan lembaga keuangan menjadi diskriminatif dan tak lagi berperan pada kelangsungan hidup kaum grass root. Kapitalisme, dalam hal ini, dibalut dengan simbol-simbol syariah untuk kepentingan pemilik modal.

Masih Relevankah Ekonomi Berdikari ?

Pada awal bangsa ini mulai berdiri, Presiden Soekarno pernah menyatakan agar bangsa ini terus berdiri tegak sejajar dengan bangsa lain yang dibutuhkan adalah tiga pusaka yang dikenal dengan trisakti. Salah satu yang menarik untuk dilihat adalah Ekonomi Berdikari. Kalau kita ingin berdaulat secara ekonomi maka kita harus mengembangkan ekonomi yang mengandalkan bangsa sendiri atau berdiri di atas kaki sendiri begitulah kira-kira pernyataan Bung Karno mengenai ekonomi berdikari. Cerita itu mulai kabur sejak pemerintahan Soekarno jatuh. Ekonomi berdikari dianggap kuno dan ditinggalkan, pengalaman empiriknya adalah ketika Soeharto berkuasa, minyak yang digunakan sebagai sumber energi dan sumber penerimaan utama negara waktu itu merupakan celah awal masuknya modal dan perusahaan asing. Perusahaan minyak asing pun tidak segan-segan menambah modal kerjanya secara besar-besaran masuk ke Indonesia.
Fenomena boom minyak tahun 1970an seolah menjadi semacam jaminan bagi modal yang mereka tanamkan di Indonesia ataupun yang diutangkan kepada pemerintah Indonesia. Sebagaian dari proyek asing tersebut memang berfungsi memperlancar operasi industri minyak di Indonesia, misalnya berkaitan dengan infrastruktur listrik (jalan, telekomunikasi, pembangkit listrik) dan nonfisik (ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan, kelancaran mekanisme perdagangan luar negeri dan modernisasi perbankan).
Jika cerita berhenti sampai di situ, maka kita bisa membayangkan suatu negara dengan perekonomian yang tumbuh pesat, kemudian rakyat yang menjadi semakin makmur dan sejahtera. Masuknya investasi asing akan membuka lapangan kerja baru yang luas dan kesempatan untuk transfer teknologi demi kemajuan bangsa di kemudian hari. Dengan utang luar negeri, kita bisa memulai proyek-proyek besar kita sendiri yang hasilnya nanti tidak hanya bisa dipakai untuk melunasi utang tetapi menyediakan generasi berikut suatu infrastruktur produksi yang handal, dengan perbaikan dunia pendidikan tinggi yang meskipun awalnya terkait dengan kebutuhan perusahaan (modal) asing, pada akhirnya tetap akan bermanfaat bagi bangsa sendiri.
Namun, itu semua hanya utopia belaka. Sampai dengan saat ini, kenyataan yang terjadi tidaklah seperti demikian, bangsa kita terus terpuruk dengan banyaknya modal asing yang masuk. Cardozo dalam teorinya mengatakan modal asing justru menimbulkan para kompador-komprador baru yang justru banyak merugikan bangsa sendiri.
Menolak modal asing sama sekali bukanlah hal yang bijak. Hal yang kita perlukan adalah bagaimana mencegah pengaruh modal asing tersebut tidak sampai mencabut kedaulatan ekonomi bangsa. Bangsa ini dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bukanlah ditakdirkan untuk menjadi budak bagi bangsa lain. Bangsa yang hanya menjadi tamu di negeri sendiri.
Dengan berbagai modal dan bantuan asing harusnya kita bisa belajar banyak dan tidak hanya sekadar menjadi boneka dari segala kepentingan asing yang dibalut dengan manisnya. Sehingga, cita-cita the Founding Father untuk menciptakan negara yang berdikari dapat terwujud.