Belum lagi selesai masalah kelangkaan minyak tanah di kalangan masyarakat, masyarakat kembali dikejutkan dengan rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Hal ini tentunya disebabkan meroketnya harga minyak dunia mencapai US$127/barel, namun yang menjadi pertanyaan kemudian bagaimana bisa sebuah negara yang dikaruniai dengan sumberdaya minyak yang melimpah tetapi saat ini justru terkena “kutukan” dari kenaikan harga minyak itu sendiri?
Jika kita melihat dari aspek manajemen pengelolaan minyak negeri ini, rasanya jika pengelolaan minyak dilakukan dengan baik dan transaparan, windfall profit atau “keberkahan” yang justru akan kita terima dari kenaikan harga minyak tersebut. Tentunya, pemerintah sekali lagi harus mengevaluasi pada titik mana kesalahan manajemen pengelolaan minyak itu terjadi, sebab beberapa kali revisi APBN 2008, target lifting minyak yang telah ditetapkan oleh pemerintah selalu tak tercapai.
Presiden SBY dalam sebuah pernyataan di televisi menyatakan bahwa APBN kita harus diselamatkan karena kenaikan harga minyak ini, begitu pula dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga mengatakan bahwa 80% dari subsidi BBM hanya dinikmati oleh orang kaya, sedangkan 20% yang dinikmati oleh orang miskin. Secara faktual memang dapat dibenarkan pernyataan kedua pemimpin negara tersebut, namun dilihat dalam konteks komunikasi politik yang dilakukan, hal ini terlihat sangat buruk.
Saat ini, dalam persepsi masyarakat muncul pemikiran bahwa pemerintah cenderung “egois” karena hanya ingin menyelamatkan APBN namun tidak memikirkan bagaimana pengaruh kenaikan harga minyak akan meningkatkan penderitaan pada masyarakat. Tentu, persepsi ini bukan hal yang baik jika memang kedua pemimpin tersebut ingin bertarung kembali memperebutkan kursi RI-1 pada Pemilu 2009.
Subsidi Tak Tepat Sasaran
Memang, jika kita melihat dari sisi keadilan, maka subsidi yang dilakukan pemerintah terhadap BBM tentunya sangat tidak tepat sasaran. Subsidi justru dinikmati 80% oleh orang kaya dan orang miskin hanya 20%. Tentu, dalam konteks pembangunan ekonomi sebuah bangsa hal ini kurang begitu baik. Sebab, hampir lebih dari 50% APBN hanya dibuang untuk subsidi BBM. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, sebenarnya subsidi memang harus dikurangi.
Selain itu, disparitas harga yang begitu tinggi dengan harga minyak di luar negeri juga menjadi salah satu indikator bahwa sebenarnya harga minyak dalam negeri relatif murah. Tak pelak memang hal ini menjadi salah satu faktor banyaknya kriminalitas di bidang distribusi BBM. Permasalahan seperti penyelundupan minyak ke luar negeri, penjualan minyak bersubsidi ke industri harusnya kita perlu kita herankan.
Namun, permasalahan kemudian adalah kenaikan harga BBM menimbulkan multiplayer effect yang besar untuk harga-harga komoditas lain. Data terakhir mencatat bahwa sampai dengan bulan April 2008 inflasi yang terjadi 8,96% meleset dari target pemerintah sebesar 4-6% (BI,2008). Dapat kita bayangkan ketika harga BBM dinaikkan maka dapat dipastikan bahwa inflasi akan meningkat. Sebelum kenaikan harga minyak terjadi saja, saat ini harga-harga komoditas telah meningkat 10-20%.
Jika kita berbicara tentang kemiskinan maka sudah dapat dipastikan jumlah kemiskinan kembali akan meningkat dengan adanya kebijakan tersebut. Data terakhir mencatat 16% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan, karakteristik orang miskin di Indonesia berkorelasi positif dan sangat sensitif dengan kenaikan harga barang-barang pokok (Worldbank, 2008). Untuk mengembalikan dan menyesuaikan kondisi akibat Policy Shock kenaikan harga BBM lebih dari 100% tahun 2005 saja, rata-rata masyarakat miskin membutuhkan waktu 2 tahun.
Bantuan Langsung Tunai Bergulir Lagi
Di tengah gelombang protes akan rencana pemerintah menaikkan harga BBM, pemerintah kembali berencana untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) seperti yang dilakukannya pada tahun 2005. BLT kali ini akan menghabiskan dana 14 Trilliun Rupiah dengan durasi pemberian selama 7 bulan dan dibagikan kepada 19,1 juta keluarga miskin. Setiap keluarga akan menerima Rp. 100.000 ditambah gula dan minyak goreng. Masih melekat di pikiran kita di tahun 2005 bagaimana kebijakan tersebut pada pelaksanaannya terdapat banyak kekurangan.
Tentunya hal ini harus menjadi bahan evaluasi dari pemerintah mengingat hasil evaluasi yang dilakukan beberapa perguruan tinggi mengenai efektivitas BLT hanya mencapai 90% dari target. Permasalahan terbanyak adalah mengenai pendataan dan aspek-aspek keadilan bagi yang tidak mendapatkan. Tak pelak memang ini dapat menimbulkan potensi permasalahan baru di antara anggota masyarakat itu sendiri.
Pada akhirnya, kebijakan BBM memang merupakan sebuah kebijakan yang sangat strategis dan selalu sarat dengan kepentingan politik di luar kepentingan ekonomi itu sendiri. Siapapun pemimpinnya memang akan dihadapkan pada permasalahan yang pelik di tengah guncangan ekonomi yang tidak stabil seperti saat ini. Pemerintah dihadapkan pada dua pilihan yang terasa pahit yakni menaikkan BBM yang nantinya akan menurunkan daya beli riil masyarakat yang memang sudah rendah atau di sisi lain tetap mempertahankan subsidi namun tentunya akan membuat defisit anggaran semakin membesar. Pemerintah hanya tinggal memilih untuk pro APBN atau pro rakyat?
2 komentar:
allo bung..
salam kenal..
tulisanmu menarik...
menurutku dalam kebijakan kita kan selalu dihdpkn pd suatu pilihan dan adn tent dangat bijak kalau pilihan yang di ambil negar berdasar pada kepentingan "nasional"
allow bung..
salam kenal..
tulisanmu menarik...
Menurutku : dalam menentukan Kebijakan Publik_ kita kan selalu dihdpkn pd suatu pilihan. Dan akan sangat bijak kalau pilihan yang di ambil negara sidasarkan pada kepentingan "nasional"
Posting Komentar