Ketika harga BBM melejit naik tahun 2005, Sanin tak bisa lagi membayar sewa kontrakan rumahnya di Pondok Gede, Bekasi, karena pendapatannya dari hasil menjual sandal dan sepatu di pinggir jalan, merosot tajam. Memang secara teori tidak ada korelasi antara harga BBM dengan harga sandal dan sepatu, tetapi fakta di tingkat mikro hubungan itu ada. Kenaikan harga BBM berakibat pada kenaikan harga berbagai komoditas lain (cost-pushed inflation), sehingga masyarakat menjadi lebih selektif dalam berbalanja sesuai dengan prioritas untuk pemenuhan kebutuhan hidupannya. Dampaknya, masyarakat bawah yang biasa berbelanja di kaki lima, tidak lagi memprioritaskan sandal atau sepatu, karena sandal atau sepatu yang sudah butut pun masih bisa dipakai. Kalaupun ada kerusakan sedikit, masih bisa diperbaiki oleh tukang sol keliling yang biayanya relatif murah.
Kini, anak dan istri Sanin pulang ke Cilacap, sementara Sanin berpindah profesi menjadi kuli bangunan yang tinggal di bedeng sementara, sehingga bisa sedikit berhemat, karena tidak lagi harus membayar sewa rumah.
Cerita serupa juga menimpa Misno, pedagang bakso keliling asal Wonogiri, yang berkeliling di perumahan-perumahan sekitar Pondok Ungu, Bekasi. Kini ia harus banting stir menjadi tukang ojeg, setelah mencuatnya isue formalin dan daging tikus. Walaupun ia sudah berdagang bakso hampir lima tahun, namun menurunnya omset akibat isue itu membuatnya pasrah. Beruntunglah, selama hampir lima tahun ia berhasil mengumpulkan sebgian keuntungan untuk membeli sepeda motor, yang akhirnya ia gunakan untuk meng-ojek.
Yakinlah, kejadian ini hanyalah sebagian kecil dari kejadian serupa yang dialami para pelaku usaha mikro. Kejadian itu juga pasti akan berulang kembali, baik pada pelaku yang sama maupun pelaku lain, yang tidak teridentifikasi, ketika pemerintah tetap menaikan tarif dasar listrik (TDL), pemusnahan unggas untuk mengurangi penyebaran virus flu burung, dan sebagainya.
Belajar dari kejadian Sanin dan Misno, ternyata jelas bahwa usaha mikro tidak tahan banting, tetapi justru sebaliknya, usaha mereka sangat rentan (vulnerable) terhadap perubahan kondisi makro. Namun secara individu sebagai pelaku usaha, mereka memang memiliki mental yang sangat tangguh sebagai upaya untuk bertahan hidup (survival mode).
The Asian Foundation dan AKATIGA telah melakukan longitudinal survey (1999) tentang Dampak Krisis Eknomi terhadap UKM Indonesia. Secara umum, hasil survey itu menunjukan bahwa tidak semua UMKM tahan terhadap krisis. Sebagai contoh, di Pulau Jawa sekitar 50 persen UMKM terpuruk, 16,7 persen justru memiliki kinerja lebih baik, dan sisanya 33,3 persen berkinerja tetap. Sedangkan untuk UMKM di luar Pulau Jawa, 50 persen justru lebih baik, dan 50 persen sisanya berkinerja tetap. UMKM di perdesaan yang memiliki kinerja lebih bagus ternyata lebih tinggi (44,4 persen) daripada di perkotaan (11,2 persen), sedangkan UMKM yang terpuruk di perdesaan lebih sedikit (22 persen) dibandingkan di perkotaan (44,4 persen). Dari sisi usaha, 78 persen UMKM sektor manufaktur terpuruk, sedangkan untuk UMKM sektor perdagangan, pertanian dan jasa yang terpuruk kurang dari 20 persen.
Fakta tersebut setidaknya dapat mengingatkan para pembuat kebijakan agar tidak melakukan generalisasi kondisi UMK hanya untuk kepentingan sesaat yang bersifat populis. Hal ini juga ditekankan oleh The Asia Foundation dan AKATIGA (1999) yang merekomendasikan pemerintah Indonesia agar tidak membuat kebijakan yang bersifat umum, karena hal itu akan sangat tidak efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar