Selasa, 20 Mei 2008

Revolusi Keuangan Mikro

Saat ini keuangan mikro telah menjadi pembicaraan luas. Di tingkat global, PBB menjadikan keuangan mikro sebagai salah satu strategi yang diyakini mampu memberikan konstribusi pada pengurangan jumlah penduduk miskin. Hal ini sejalan dengan upaya PBB untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dunia menjadi setengahnya pada tahun 2015 sebagai mana tercantum dalam program Millenium Development Goals (MDGs). Melalui keuangan mikro, penduduk miskin dan pengusaha mikro diberi akses untuk melakukan berbagai aktivitas keuangan, baik akses pembiayaan maupun jasa keuangan lainnya, yang memungkinkan mereka dapat melakukan kegiatan produktif dan mengembangkan usahanya.

Buku Marguerite S. Robinson “Revolusi Keuangan Mikro: Pelajaran dari Indonesia”, setidaknya memiliki konstribusi besar pada pengembangan keuangan mikro di tingkat global. Robinson mengungkapkan kepada dunia bahwa telah terjadi pergeseran besar dalam pelayanan keuangan mikro. Pelayanan jasa keuangan mikro yang mampu menyediakan kepastian sumber pembiayaan berkelanjutan kepada usaha mikro adalah keuangan mikro yang komersial. Dengan kata lain, kebijakan protektif dan subsidi bunga kredit kepada UMKM melalui lembaga keuangan mikro perlu dihindari karena hanya menimbulkan moral hazart yang akan menggangu kelangsungan institusional. Robinson ingin menyampaikan bahwa kebijakan distortif dan protektif hanya akan menciptakan inefisiensi dan hanya melahirkan pemburu rente, baik dari pengusaha kecil atau kelompok orang yang mengambil manfaat dari usaha kecil. Dalam kasus Indonesia, BRI Unit justru berhasil pada era dimana lembaga keuangan mikro tersebut harus survive saat penyaluran kredit bersubsidi dihapuskan. Justru pada era komersialisasi kredit mikro itulah BRI Unit menjadi penopang profitabilitas BRI secara keseluruhan.

Argumentasi yang disampaikan atas dasar pengamatan yang dilakukannya secara bertahun-tahun membuktikan bahwa penyaluran dana secara komersial akan mendorong interaksi dan menumbuhkan pola kemitraan untuk saling menjaga. Dari proses tersebut akan terjalin ikatan emosional untuk saling membutuhkan dan dalam jangka panjang akan tercipta suatu simbiosa yang saling menguntungkan. Dengan memahami logika tersebut, paradigma kita dalam memandang sektor mikro ini akan mengalami perubahan secara mendasar, dari sekadar mengurangi kemiskinan dengan subsidi kredit, menuju suatu arah pembiayaan mikro komersial yang berkelanjutan (sustainable commercial microfinance).

Robinson seolah memberikan inspirasi bagi pelaku perbankan untuk melakukan reorientasi bisnisnya kepada ektor mikro dan kecil. Di Indonesia sendiri sejak beberapa tahun terakhir, perbankan nasional telah menetapkan rencana dan strategi yang lebih ekspansif, guna menggali potensi dan kemajuan sektor UMKM. Kedepan, trend pembiayaan pada sektor ini diperkirakan akan terus meningkat. Untuk tahun 2005 ini, sesuai rencana bisnisnya, perbankan memproyeksikan akan menyalurkan kredit baru kepada sektor UMKM sebesar Rp 60,4 triliun. Hal ini menunjukkan keyakinan perbankan bahwa pasar pembiayaan di sektor ini masih belum jenuh. Diperkirakan perbankan masih akan menjadikan sektor UMKM sebagai salah satu segmen pasar yang cukup menjanjikan.

Ekspansifnya penetrasi perbankan ke UMKM akhir-akhir ini berimplikasi pada ketatnya persaingan baik antar-bank maupun gesekan antara bank umum dengan BPR dalam memperebutkan segmen UMKM ini. Iklim persaingan ini diperkirakan akan semakin tajam di masa mendatang. Fenomena ini pada gilirannya akan memberikan implikasi yang harus disikapi dengan arif dan bijak, serta dapat ditempatkan dalam konteks yang lebih luas. Di satu sisi, situasi ini akan memberikan dampak positif ke sektor UMKM dengan semakin terbukanya akses kepada lembaga keuangan. Selain itu, UMKM juga mendapat kesempatan untuk memperoleh variasi skim pembiayaan yang menguntungkan dengan kualitas pelayanan yang semakin baik serta tingkat bunga kredit yan bersaing. Hal yang harus dicatat adalah bahwa sektor ini harus berbenah agar lebih bankable.

Bagi industri perbankan sendiri, adanya iklim persaingan yang sehat akan membawa industri perbankan bergerak ke tingkat efisiensi yang lebih optimal, dimana setiap bank akan berupaya mengenali comparative dan competitive edvantages yang dimilikinya agar dapat terus survive dan berkembang. Dengan demikian setiap bank akan memiliki kekuatan masing-masing sesuai segmen pasar yang dikuasainya, tanpa harus terjadi kekhawatiran akan adanya persaingan yang tidak sehat.

Adanya perhatian yang besar dari industri perbankan kepada sektor UMKM tersebut diharapkan tidak semata-mata hanya karena alasan komersial, namun juga merupakan perwujudan tanggung jawab sosial dari industri perbankan tersebut. Kemampuan dalam memberikan pelayanan, termasuk upaya pembinaan UMKM merupakan aspek kunci keberhasilan operasional suatu bank. Robinson telah memberikan gambaran yang jelas bahwa faktor keberhasilan dari BRI Unit antara lain karena terjadinya ikatan emosional dengan nasabah. Hubungan mutualisme melalui kedekatan antara bank dengan nasabahnya, baik secara komersial maupun emosional merupakan unsur daya saing tersendiri. Kondisi ini akan sangat membantu dalam membuat keputusan bisnis seperti: pengecualian agunan, fleksibelitas jangka waktu kredit dan pembayaran, proses peremajaan alat produksi, dan sebagainya. Peningkatan kapabilitas ini akan dapat meningkatkan ketahanan dan menjamin income sustainability dari pengusaha UMKM sehingga pembiayaan dapat berkesinambungan dan pengembalian kredit akan lebih terjamin. Selain itu, pemberdayaan UMKM dari jalur non-finansial melalui pendampingan dan konsultasi diarahkan untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia UMKM, sehingga lebih produktif dan pada gilirannya mampu memperbaiki kinerja finansial.

Akhirnya, perlu disadari bahwa setiap tahapan pengembangan, baik lembaga keuangan mikro maupun pemberdayaan UMKM pasti akan menemui berbagai tantangan baru. Maraknya perkembangan keuangan mikro dan semakin luasnya akses UMKM terhadap sektor finansial tidak akan serta merta menyelesaikan masalah kemiskinan dan pengangguran. Namun disadari bahwa tanpa kerja keras dan sinergi kedua sektor tersebut akan sangat sulit bagi bangsa Indonesia untuk menciptakan ekonomi nasional yang berbasis kerakyatan dan memiliki daya tahan yang tinggi terhadap setiap guncangan. Pemberdayaan UMKM diharapkan tidak hanya mampu mengurangi kemiskinan namun juga dapat menciptakan kesempatan kerja dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebagaimana dicita-citakan.



*) Tulisan ini disarikan dari sambutan Deputi Gubernur BI, Maulana Ibrahim, pada Seminar dan Bedah Buku “Revolusi Keuangan Mikro: Pelajaran dari Indonesia”, karya Marguerite Robinson

Tidak ada komentar: