Juara 1 Lomba Karya Tulis Populer FEB UGM
Ketahanan energi menjadi agenda yang semakin mendesak bagi bangsa ini. Sebagai salah satu penggerak roda perekonomian, energi memainkan peranan penting dalam ketahanan nasional. Apalagi, kompetisi dalam memperebutkan sumber energi di antara negara-negara di dunia diperkirakan akan semakin ketat.
Ekspansi industri Cina dan India diperkirakan akan terus memacu laju permintaan energi dunia yang berdampak pada kenaikan harga komoditas energi. Hal ini sudah tampak dari kenaikan harga minyak dunia yang telah mencapai tiga kali lipat selama empat tahun terakhir. Bahkan, awal tahun ini harga minyak dunia sempat menembus 100 dolar AS per barel yang merupakan rekor tertinggi setelah krisis minyak dunia pada awal 1980-an.
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki sumber cadangan energi terbesar di dunia. Bahkan untuk minyak bumi, Indonesia telah melakukan eksploitasi secara komersial sejak tahun 1885, lebih dahulu dari kebanyakan negara di Timur Tengah.
Prospek Awal Ketahanan Energi
Pada awal bangsa ini mulai berdiri, sumber energi yang paling diandalkan adalah minyak bumi. Cerita yang paling spektakuler dari soal minyak bumi justru terjadi ketika rezim Soeharto berkuasa, yaitu minyak sebagai sumber energi utama waktu itu juga merupakan sumber dana berlimpah bagi program ekonomi dan politik pemerintahan. Rezeki nomplok (Windfall Profit) dari oil boom diperoleh karena kombinasi dari faktor-faktor seperti kenaikan harga minyak yang fantastis selama beberapa kali di era 70-an dan 80-an, keanggotaan Indonesia dalam OPEC (Organisasi Pengekspor Minyak Bumi) dan kesediaan rezim untuk berbagi hasil dengan perusahaan minyak asing.
Penerimaan negara secara langsung dari minyak menjadi berlipat ganda ditambah dengan cadangan devisa yang terus tersedia dari hasil ekspor minyak. Perusahaan minyak asing pun tidak segan-segan menambah modal kerjanya secara besar-besaran masuk ke Indonesia.
Dampak tidak langsung yang bersifat lebih besar adalah kesediaan banyak negara dan perusahaan asing memberi piutang serta melakukan penanaman modal secara langsung ke berbagai sektor di Indonesia. Fenomena boom minyak seolah menjadi semacam jaminan bagi modal yang mereka tanamkan di Indonesia ataupun yang diutangkan kepada pemerintah Indonesia. Sebagaian dari proyek asing tersebut memang berfungsi memperlancar operasi industri minyak di Indonesia, misalnya berkaitan dengan infrastruktur listrik (jalan, telekomunikasi, pembangkit listrik) dan nonfisik (ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan, kelancaran mekanisme perdagangan luar negeri dan modernisasi perbankan).
Jika cerita berhenti sampai di situ, maka kita bisa membayangkan suatu negara dengan perekonomian yang tumbuh pesat, kemudian rakyat yang menjadi semakin makmur dan sejahtera. Dalam penalaran sederhana, yang terjadi mestinya adalah sebagai berikut: uang minyak secara berlimpah masuk ke kas negara, membuat pemerintah bisa menjalankan banyak program untuk kesejahteraan rakyat, dengan cadangan devisa yang sangat besar maka Indonesia dapat membeli barang-barang modal atau bahan baku yang dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, kemudian dengan masuknya investasi asing akan terbuka lapangan kerja baru yang luas dan kesempatan untuk transfer teknologi demi kemajuan bangsa di kemudian hari. Dengan utang luar negeri, kita bisa memulai proyek-proyek besar kita sendiri yang hasilnya nanti tidak hanya bisa dipakai untuk melunasi utang tetapi menyediakan generasi berikut suatu infrastruktur produksi yang handal, dengan perbaikan dunia pendidikan tinggi yang meskipun awalnya terkait dengan kebutuhan perusahaan (modal) asing, pada akhirnya tetap akan bermanfaat bagi bangsa sendiri, juga dengan kelancaran mekanisme perdagangan internasional dan modernisasi perbankan, bisa dikembangkan komoditi ekspor unggulan, dan lain sebagainya.
Kenyataan yang terjadi awalnya memang berkesan amat menjanjikan dan alur cerita seolah-olah akan sesuai dengan skenario di atas. Perekonomian Indonesia yang tumbuh pesat terhitung sangat fantastis. Laju pertumbuhan ekonomi sangat tinggi melampaui rata-rata kebanyakan negara, investasi besar-besaran berlangsung di beberapa sektor, inflasi umumnya bisa dikendalikan, neraca pembayaran dan cadangan devisa dalam posisi yang relatif aman dan pengangguran perlahan-lahan bisa ditahan. Di masa itu, pemerintah Indonesia berhasil memaksimalkan rezeki oil boom bagi perkembangan perekonomian secara keseluruhan.
Keadaan kemudian berubah secara drastis hanya dalam waktu setahun, ketika Indonesia mulai terkena resesi ekonomi, dari awal pertengahan tahun 1997 hingga tahun 1998, angka-angka indikator makroekonomi berbalik menjadi amat buruk. Nilai tukar rupiah merosot sangat tajam, pertumbuhan ekonomi menjadi negatif, inflasi sangat tinggi, neraca pembayaran mengalami defisit yang besar, serta cadangan devisa terkuras hampir habis. Segala prestasi mengagumkan selama 30 tahun, sepertinya sirna begitu saja.
Saat ini minyak bumi tak dapat menjadi sumber energi utama bagi Indonesia sebab jumlahnya yang terus menyusut dan kondisi sumur-sumur minyak tersebut telah berumur tua ditambah lagi proses eksplorasi yang memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit relatif stagnan.
Kedaulatan Energi dan Kemakmuran Rakyat
Bahwa pengelolaan energi di Tanah Air sangat erat kaitannya dengan ketahanan energi nasional barangkali telah banyak diketahui khalayak. Bahwa pengelolaan energi di bumi pertiwi ini juga sangat menentukan ketahanan ekonomi nasional juga sepertinya sudah banyak dimengerti oleh masyarakat kita. Namun, bahwa pengelolaan energi di Tanah Air sangat erat kaitannya dengan ('pelanggaran') amanat konstitusi UUD 1945, mungkin tidak cukup banyak yang mencermatinya.
Keterkaitan yang pertama antara pengelolaan energi nasional dan amanat konstitusi UUD 1945 sebenarnya sudah cukup jelas tersirat dalam Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3. Yaitu, bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak diamanatkan untuk dikuasai oleh negara, dan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya juga diamanatkan untuk dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Energi jelas merupakan salah satu cabang produksi yang paling penting dan berpengaruh secara politik ataupun ekonomi bagi negara dan rakyat Indonesia. Sumber energi juga jelas merupakan bagian dari kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia. Oleh karena itu, amanat konstitusi UUD 1945 terkait pengelolaan energi yang harus kita laksanakan bersama sebenarnya sudah sangat jelas, bahwa pengelolaan energi dan sumber energi harus dikuasai oleh negara Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.
Di sini, frase "dikuasai oleh negara" dan "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" pada hakikatnya dapat dikatakan merupakan inti atau ruh dari amanat konstitusi UUD 1945 terkait pengelolaan energi tersebut. Pertanyaannya, apakah amanat itu sudah benar-benar dilaksanakan?
Terkait dengan amanat yang pertama, "dikuasai oleh negara", tak terlalu sulit untuk menjawabnya. Fakta yang ada, khususnya untuk pengelolaan energi yang utama saat ini, yaitu minyak dan gas (migas) serta batu bara, menunjukkan bahwa pengelolaan energi dan sumber energi di Tanah Air sebenarnya secara de facto tidak dikuasai oleh negara Indonesia, tetapi oleh korporasi-korporasi besar, khususnya asing.
Dengan komposisi seperti itu, maka tak mengherankan jika sekitar 55% produksi gas kita juga dialokasikan untuk ekspor jangka panjang 20-30 tahun, sehingga menyisakan defisit gas di beberapa daerah di Tanah Air. Dari produksi minyak mentah yang tak sampai 1 juta barel per hari dan sudah tak cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik pun masih juga diekspor sekitar 30%-nya.
Hal itu terjadi karena karena memang tak ada instrumen yang riil untuk 'memaksa' kontraktor asing tersebut menjual produksinya ke dalam negeri. Akibatnya, kita 'terpaksa' mengimpornya kembali dengan harga yang lebih mahal yang ujung-ujungnya membengkakkan biaya pengadaan dan subsidi BBM. Hal yang sama juga terjadi pada batu bara. Lebih dari 70% produksi batu bara yang ada diekspor, sehingga nyaris tak ada yang tersisa untuk pembangkit listrik PLN.
Konsekuensi yang harus kita tanggung bersama dari tidak dilaksanakannya amanat konstitusi yang pertama, yaitu penguasaaan sumber-sumber energi dan pengelolaan energi oleh negara, tidaklah sedikit. Bahkan dapat dikatakan amat sangat besar dan sulit diukur nilainya. Konsekuensi itu tak lain adalah tidak tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Atau sebenarnya juga tak lain dari amanat yang kedua dari konstitusi UUD 1945 menyangkut pengelolaan energi itu sendiri.
Karena tak dikuasai oleh negara maka energi juga tak mampu memberi sebesar-besar kemakmuran untuk rakyat. Pada saat harga minyak di kisaran US$120 per barel saja, subsidi energi (BBM dan listrik) di APBN sudah mencapai Rp200 triliun lebih atau mendekati 25% dari total belanja negara.
Sementara porsi-porsi besar APBN yang lain juga sudah teralokasikan untuk hal-hal yang cenderung tidak produktif dan tidak bersentuhan langsung dengan peningkatan kemakmuran rakyat seperti pengeluaran rutin yang mencapai 25% dari total belanja, pembayaran bunga utang yang berkisar 15% dari total belanja, dan pembayaran cicilan pokok utang yang mencapai 10% dari total belanja.
Dengan komposisi pengelolaan belanja APBN seperti itu, maka praktis nyaris tak ada lagi yang tersisa untuk peningkatan sebesar-besar kemakmuran rakyat yang sebenarnya seperti untuk pendidikan, penyediaan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Jadi, jelas, ada benang merah yang sangat tegas antara pengelolaan energi di Tanah Air dan pelanggaran amanat konstitusi UUD 1945. Bahwa pelanggaran amanat konstitusi secara de facto menyangkut pengelolaan dan penguasaan energi dan sumber-sumber energi oleh negara, menjadi pemicu atau penyebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran amanat konstitusi yang lain secara de facto pula. Tidak terpenuhinya anggaran pendidikan dan tidak tersedianya pekerjaan yang layak dan cukup bagi rakyat adalah beberapa di antaranya. Maka, mengembalikan kembali penguasaan sumber energi dan pengelolaan energi kepada negara dan rakyat Indonesia dalam arti yang sebenar-benarnya tampaknya sungguh merupakan sebuah agenda mendesak bagi bangsa kita dan tak bisa ditunda-tunda lagi.
Renegosiasi terhadap kontrak-kontrak pertambangan dan migas untuk mengubah klausul-klausul yang merugikan kepentingan nasional adalah salah satu wujud langkah konkret yang semestinya segera dilakukan. Sudah saatnya kita mengelola dan menjadi tuan di tanah kita sendiri sehingga hasil dari perut bumi negeri kita benar-benar bisa kita rasakan manfaatnya.
Pengembangan Energi Alternatif
Salah satu hal yang tidak boleh juga kita lupakan terkait ketahanan energi nasional adalah pengembangan energi alternatif. Sebab, ketahanan energi nasional bukanlah sesuatu hal yang bersifat jangka pendek namun sifatnya jangka panjang dan berkelanjutan.
Karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui, oleh karenanya pemerintah baru – baru ini mencoba untuk membuat kebijakan pengembangan energi alternatif di masa depan yang dapat terlihat dari blue print pengelolaan energi nasional bertajuk Kebijakan energi nasional sesuai dengan peraturan presiden no 5/2006. Pada tahun 2025 kelak, peran minyak bumi sebagai sumber energi direncanakan menjadi maksimal 20 persen. Gas alam akan menjadi minimum 30 persen, batu bara menjadi 33 persen, panas bumi dan biofuel menjadi 5 persen dan sumber energi terbarukan sebesar 5 persen. Selain soal diversifikasi energi, dalam cetak biru tersebut terpampang rencana pengelolaan energi nasional sejak 2006 sampai 2025.
Namun, sayangnya sampai saat ini belum ada langkah-langkah riil pemerintah untuk menuju diversifikasi sumber energi dengan tidak lagi mengandalkan minyak seperti yang terdapat dalam blue print energi nasional. Sebenarnya, jika pemerintah memang berniat untuk mengembangkan sumber energi alternatif, Indonesia akan mengalami surplus energi. Sumber energi dari minyak bumi akan menyumbang 927 ribu barel per hari, ditambah sumbangan dari gas alam yang produksinya setara 700 ribu barel minyak per hari dan dari batu bara produksinya setara dengan 2,6 juta barel minyak per hari. Dengan produksi sumber energi tersebut, berarti terdapat produksi yang setara dengan 4,2 juta barel minyak per hari. Padahal kebutuhan energi dalam negeri hanya 1,2 juta barel per hari. Artinya, jika sumber-sumber energi seperti gas alam atau batu bara benar-benar diberi perhatian oleh pemerintah, krisis energi dan membengkaknya biaya akibat impor minyak bumi tidak pernah akan terjadi.
Dalam cetak biru pengelolaan energi nasional, tercatat beberapa pencapaian yang harus diwujudkan dalam waktu dekat. Pada tahun 2009, misalnya, produksi gas alam cair (LNG) ditargetkan akan bertambah sebanyak 26 ribu ton per hari seiring dengan ditargetkannya tambahan investasi sebesar 300 juta dollar AS. Sampai bulan Maret 2008, produksi LNG tercatat sebesar 1,73 juta ton. Sementara untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi, ditargetkan penambahan daya sebesar 1,32 megawatt. Potensi cadangan panas bumi Indonesia sendiri mencapai 27 ribu gigawatt, tetapi sampai saat ini baru 900 megawatt yang dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Sedangkan untuk pengembangan biodiesel, pemerintah menargetkan investasi sebesar 244 juta dollar AS pada tahun 2009, dan pada tahun yang sama kapasitas produksi bioetanol ditargetkan akan mencapai 21,79 ribu barel per hari. Dan sejauh ini pemerintah menargetkan produksi etanol nasional sebanyak 150 juta liter per tahun dengan bahan baku singkong atau tebu.
Panas Bumi Sebagai Prioritas
Berangkat dari kondisi seperti itu maka pemanfaatan energi panas bumi sebagai salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan energi listrik nasional perlu menjadi prioritas. Ini mengingat panas bumi memenuhi berbagai prasyarat yang diperlukan untuk mewujudkan ketahanan energi nasional. Dilihat dari sisi potensi, cadangan energi panas bumi di Indonesia sangat besar, yaitu 27 ribu MW. Angka ini hampir setara dengan seluruh daya terpasang pembangkit listrik nasional saat ini. Ini belum termasuk potensi panas bumi nonkonvensional yang bisa dimanfaatkan dengan menggunakan teknologi Enhanced Geothermal Systems (EGS). Mengacu pada studi yang dilakukan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT, 2007) dan disponsori oleh Departemen Energi Amerika Serikat, teknologi EGS diperkirakan mampu meningkatkan pemanfaatan energi panas bumi untuk listrik di negara tersebut hingga 100 ribu MW secara berkesinambungan.
Sebagai negara dengan cadangan panas bumi terbesar di dunia, Indonesia tentunya memiliki peluang pemanfaatan panas bumi yang lebih besar dari Amerika Serikat. Panas bumi juga menjadi sebuah jawaban terhadap kondisi pembangkit listrik di Indonesia yang kerap mengalami gangguan akibat kekurangan pasokan bahan bakar.
Hal ini karena pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) tidak memiliki masalah dengan pasokan akibat gangguan transportasi, iklim, maupun cuaca seperti jenis pembangkit yang lain. Karena panas bumi bukan komoditas yang bisa diperdagangkan di pasar internasional, produksi listrik PLTP tidak terpengaruh oleh gejolak harga energi dunia. Bahkan, dengan tingginya harga minyak dunia seperti saat ini, panas bumi berpotensi menyelamatkan devisa negara melalui penghematan pemakaian BBM untuk pembangkitan.
Seandainya pemerintah berhasil memanfaatkan 10 persen saja potensi panas bumi yang ada, 40 juta barel BBM bisa dihemat setiap tahunnya. Jumlah ini tentu sangat bermakna di tengah semakin beratnya beban APBN untuk subsidi listrik.
Di samping itu, dampak lingkungan listrik panas bumi juga relatif kecil jika dibandingkan dengan jenis pembangkit yang lain. Bahkan, sebagai salah satu sumber energi yang rendah karbon, panas bumi memiliki peluang untuk mendapatkan dana pembiayaan proyek melalui Clean Development Mechanism (CDM).
Bagi Indonesia, panas bumi sebenarnya bukan barang baru. PLTP Kamojang yang merupakan PLTP komersial pertama di Indonesia sudah mulai beroperasi sejak seperempat abad yang lalu, tepatnya tanggal 1 Februari 1983. Namun, selama ini pengembangan energi panas bumi belum bisa dikatakan memuaskan. Terbukti hingga kini baru empat persen potensi yang berhasil dimanfaatkan. Dibandingkan Amerika Serikat, Filipina, dan Meksiko, pengembangan panas bumi di Indonesia masih jauh tertinggal.
Namun, hal penting yang perlu dicermati bagaimana blue print kebijakan tersebut akan dicapai dengan segala konsekuensi yang ada. Hal ini juga belum memperhitungkan kemungkinan terjadinya revisi target ataupun kebijakan akibat terjadinya pergantian kepemimpinan serta kemungkinan adanya tumpang tindih dengan hambatan dan kebijakan lainnya, contohnya birokrasi dan landasan hukum. Upaya untuk membangun ketahanan dan kedaulatan energi harus dibangun dengan suatu platform yang jelas, terukur, terkoordinasi, dan dapat dipertanggungjawabkan. Indonesia harus memiliki visi yang jelas dan tegas akan arah kebijakan energi nasional. Tantangan yang dihadapi oleh sektor energi akan semakin berat tidak hanya karena Indonesia sudah menjadi negara net importir minyak, tetapi juga karena tantangan dan kebutuhan ke depan untuk memberikan layanan energi yang bersih (clean energy) semakin besar.
Selain itu, pemerintah harus lebih fokus pada upaya peningkatan akses energi pada daerah - daerah yang terpencil sehingga nantinya ketahanan energi nasional juga berdampak positif bagi masyarakat dan generasi yang akan datang.
Jumat, 02 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar