Awal tahun 2008, ketika gejolak krisis subprime mortgage di Amerika Serikat mulai terjadi, beberapa pengamat ekonomi 'mainstream' mengatakan bahwa krisis tersebut tidak akan merambat ke Indonesia mengingat kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang cukup baik dibandingkan dengan kondisi ekonomi pada saat krisis tahun 1998. Namun, seiring perjalanan waktu, pendapat itu mulai terbantahkan. Krisis finansial di AS mulai merembet masuk ke perekonomian Indonesia lewat jalur pasar keuangan.
Indeks harga saham seketika anjlok drastis karena banyaknya modal yang lari dari pasar modal Indonesia. Namun, hal ini belum membuat pemerintah sadar bahwa efek dari krisis tersebut akan jauh lebih dahsyat dari yang dibayangkan sebelumnya. Pemerintah hanya men-suspend sementara perdagangan saham karena terjadi kepanikan yang luar biasa dari para pemodal. Kapitalisasi pasar Indonesia menurun dari Rp. 1.800 triliun dalam satu bulan menjadi hanya Rp. 1.200 triliun saja.
Pada dasarnya, menurut analisis ekonomi, inilah fenomena yang disebut sebagai ekonomi balon (bubble economy). Di Indonesia, hal ini telah terjadi sejak tahun 1988 dan berlanjut hingga saat ini. Misalnya, pada tahun 2007 sektor finansial (pasar modal dan pasar keuangan, belum dihitung pasar utang negara kepada masyarakat berupa SUN, obligasi, SBI) sudah 12 kali lebih besar dibandingkan sektor riil. Ini sebuah fenomena yang seharusnya sejak awal dicermati pemerintah akan bahayanya ketika sewaktu-waktu ekonomi balon ini meletus dalam sekejap. Saat ini, perkiraan tersebut terjadi. Fakta telah menunjukkan bahwa sektor riil telah terkena imbas dari krisis yang awalnya berasal hanya dari macetnya kredit perumahan di AS.
Media massa beberapa hari terkahir melaporkan bahwa dapat kita saksikan hampir semua buruh terutama bagi buruh industri berorientasi ekspor menghadapi ketidakpastian akan masa depannya. Sebuah hal yang patut menjadi perhatian serius oleh pemerintah. Sebab sebelum krisis terjadi, penggangguran sudah mencapai 10 juta orang, diperkirakan ketika krisis terjadi pengganguran akan meningkat secara drastis. Belum termasuk para pekerja dan buruh yang bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Krisis harga komoditas yang juga menimpa ekonomi dunia saat ini memaksa para TKI dari luar negeri harus kehilangan pekerjaannya, sebab kebanyakan dari para TKI di luar negeri adalah mereka yang bekerja di sektor perkebunan, pertanian, dan kehutanan. Dapat kita bayangkan bersama, bagaimana banyaknya para pencari kerja di tahun 2009 nanti.
Tahun 2009, juga menjadi tahun yang spesial buat bangsa ini. Sebab selain penuh dengan ketidakpastian juga ancaman pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, bangsa ini akan melakukan pesta demokrasi terbesar yaitu pemilihan umum, baik anggota legislatif maupun presiden. Adanya pemilihan umum tahun 2009 dapat kita lihat dari beberapa perspektif.
Perspektif yang pertama adalah pemilihan umum akan meningkatkan ancaman ketidakstabilan makroekonomi Indonesia jika nantinya proses tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menimbulkan gesekan-gesekan di antara kelompok masyarakat terutama bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan. Karena penggangguran yang tinggi menyebabkan orang untuk cenderung mencari pekerjaan apapun yang penting dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk salah satunya mencari pekerjaan di bidang “jasa kemasyarakatan”.
Jika kita melihat dari perspektif yang kedua, pemilu tahun depan adalah secercah harapan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Permintaan domestik akan sangat kuat pada 2009 ditambah lagi dengan meningkatnya jumlah uang beredar dan stimulus fiskal yang dilakukan oleh pemerintah.
Perkiraan peningkatan dan kuatnya permintaan domestik pada tahun 2009 harusnya menjadi sinyal bagi pengusaha domestik untuk meningkatkan pangsa pasarnya di Indonesia. Apalagi situasi saat ini, dolar telah terdepresiasi lebih dari 30% sehingga barang-barang impor akan jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan barang lokal.
Oleh karena itu, sudah saatnya kemandirian ekonomi Indonesia didirikan dengan memenuhi kebutuhan domestiknya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Maka saat inilah jiwa entrepreneurship dibutuhkan. Para pengusaha tersebut mestinya muncul dari saat – saat yang darurat seperti saat ini. Para pencari pekerjaan yang berjumlah jutaan tersebut mestinya diarahkan oleh pemerintah maupun pihak swasta untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru. Sehingga multiplier effect lebih banyak terasa dan menjadi solusi khas Indonesia untuk menyelesaikan krisis finansial global.
Jumat, 02 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar