Rabu, 26 Maret 2008

Kekacauan Ekonomi dan Krisis di Amerika

KEKACAUAN ekonomi saat ini berasal dari kredit macet di sektor perumahan Amerika Serikat (AS). Kekhawatiran akan jatuhnya sektor perumahan AS menyebar hingga memengaruhi sistem keuangan.
Bank sentral AS juga dipaksa agar meminjamkan miliaran dolar untuk mengatasi kredit pasar yang macet. Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan bahwa krisis keuangan di dunia semakin meluas.Hal ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya adalah globalisasi yang menyebabkan krisis keuangan.
Intervensi The Fed sebenarnya lebih efektif ketika mereka membatasi pengaruhnya ke seluruh dunia.Namun, mereka baru melakukan tindakan ketika krisis keuangan telah terjadi secara global. Kini sangat sulit untuk menentukan apakah krisis keuangan akan membuat konsekuensi yang lebih besar terhadap ekonomi dunia.
Para pemimpin negara sering kali tidak bisa membuat inovasi di bidang keuangan agar krisis bisa teratasi. Jika melihat sejarah ke belakang, The Fed sebagai Bank Sentral AS sempat memotong suku bunga dari 6,25% ke 1% pada 2001 untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.
Pada saat itu,bisnis investasi AS turun dan pertumbuhan ekonomi juga jatuh akibat serangan teroris pada 11 September 2001 yang memengaruhi pasar keuangan. Sebelumnya pada 1998, AS juga mengalami keterpurukan di dalam pasar modal akibat skandal LTCM.Ini terjadi pada saat krisis dunia yang dimulai dari Asia pada 1997 menyebar hingga ke Rusia dan Brasil pada 1998.
Pada waktu itu, LTCM yang meminjam banyak uang dari perusahaan lain mengalami kerugian hingga miliaran dolar. Pada akhirnya, LTCM harus dilikuidasi dengan menjual obligasi yang dimiliki. Ini menyebabkan kredit pasar AS berada dalam kekacauan sehingga jalan satu-satunya adalah menaikkan suku bunga. Hal ini menyebabkan The Fed mengambil keputusan dengan menyelamatkan apa pun yang bisa diselamatkan.
The Fed mengajak bank besar di AS yang juga berinvestasi di LTCM untuk mengucurkan dana masing-masing USD3,65 miliar untuk menyelamatkan perusahaan tersebut. The Fed pun mengambil tindakan darurat dengan memotong suku bunga pada 1998 dan usaha tersebut berhasil. Pasar kembali dalam keadaan stabil, tetapi LTCM tidak bertahan.
Perusahaan tersebut dilikuidasi pada 2000. Satu dekade sebelumnya pada 1987,pasar AS juga sempat mengalami penurunan selama satu hari,tepatnya pada 19 Oktober 1987. Ketika indeks saham rata-rata Dow Jones jatuh sebesar 22% sehingga pasar Eropa dan Jepang ikut turun. Program perdagangan di pasar saham New York memperburuk krisis yang terjadi pada saat itu.Kerugian dipicu oleh adanya dugaan bahwa perdagangan dalam negeri dan perusahaan di dalamnya mendominasi pasar uang.
Di lain pihak, ekonomi AS memasuki penurunan ekonomi. Pada saat itu, nilai dolar dikhawatirkan menurun serta adanya kenaikan suku bunga Jerman, akibatnya pasar internasional mengalami kekhawatiran ganda. The Fed mengatasi krisis ini dengan menurunkan tingkat suku bunga.
Dalam hal ini, The Fed mengajak bank-bank besar lainnya di AS untuk menurunkan suku bunganya. Krisis yang terjadi pada 1987 ini tidak begitu berpengaruh terhadap ekonomi dan pasar saham karena segera kembali pulih. Namun, suku bunga yang rendah di Inggris membuat kekacauan di sektor perumahan pada 1988–1989 hingga menekan nilai tukar poundsterling yang mengalami devaluasi pada 1992.
Sementara pada 1985, banyak institusi yang bangkrut dan beralih ke institusi simpan pinjam (S&L) di Ohio dan Maryland. Hal ini menyebabkan banyaknya individu yang membuat deposito di S&L. Akibatnya, kerugian yang dialami sangat besar saat perusahaan tersebut bangkrut. Kebangkrutan S&L menjadi suatu kesempatan bagi Resolution Trust Company untuk mengambil alih aset S&L, termasuk di dalamnya rumah dan institusi yang bangkrut.
Dengan sendirinya, krisis ini mereda dan menjadikan bank besar lebih kuat. Ini karena perusahaan yang terkena krisis dipaksa untuk bergabung dan melakukan konsolidasi dengan sektor bank ritel pada 1990. Wall Street juga mengalami keterpurukan pada 1929 yang dikenal dengan nama Black Thursday.
Saat itu adalah masa terburuk AS dalam sejarah ekonomi global dan diikuti depresi berat pada 1930. Pasar berada di titik terbawah pada 1932. Butuh waktu selama 25 tahun untuk memulihkan keadaan ekonomi AS

Selasa, 04 Maret 2008

RESENSI BUKU : Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience.

KEBIJAKANyang didokumentasi baik,bisa dijadikan dasar pengelolaan makroekonomi. Kita tentunya tidak ingin terjadi lagi krisis ekonomi mendera bangsa ini.
Meroketnya harga minyak dunia hingga menyentuh 100 dolar AS dan krisis subprime mortgage di AS merupakan tantangan baru dari sisi eksternal yang perlu dicermati agar ekonomi kita tidak terpuruk dalam lobang yang sama untuk kedua kali.
Penguatan fundamental makroekonomi serta keakuratan membaca sinyal krisis dan kebijakan yang tepat merupakan “necessary condition”dalam pencegahan krisis,di mana hal tersebut dapat diperoleh melalui pengalaman masa lalu. Namun tidak jarang, sulitnya pembuat kebijakan mendapatkan kebijakan dan pengalaman masa lalu tersebut karena tidak terdokumentasikan secara baik.
Kita bersyukur seorang guru besar dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Miranda S Goeltom, mendokumentasikan hasil-hasil riset dan paper mengenai kebijakan makroekonomi baik sebelum dan sesudah krisis dalam suatu buku yang berjudul Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience.
Buku dalam bahasa Inggris ini terdiri atas tujuh bagian dan 27 bab serta membahas secara populer perkembangan kinerja,permasalahan, dan kebijakan makroekonomi di Indonesia berdasarkan urutan waktu mulai dari sebelum dan pasca krisis pada 1997–1998. Buku tersebut tidak hanya membahas moneter, perbankan,dan sektor keuangan,tetapi juga cakupan yang lebih luas seperti fiskal, sektor riil, tenaga kerja, kemiskinan.
Buku ini semakin komplet lagi karena dibuat seorang akademisi sekaligus pembuat kebijakan. Dengan pengalamannya pada kedua bidang tersebut,penulis dapat menjembatani antara teori dan pengambilan putusan praktis, khususnya lagi pada masa transisi ekonomi terpimpin ke ekonomi pasar.
Koordinasi dan Pelajaran Deregulasi
Dalam buku ini, Miranda mem bahas aspek koordinasi dalam skop lebih luas.Secara sederhana dan lugas, Miranda memaparkan hubungan antarsektor ekonomi dalam konsep financial programming and policy (FPP).Kebijakan makroekonomi dalam FPP tersebut mencakup empat sektor utama dalam perencanaan kebijakan, yaitu sektor riil, sektor fiskal, sektor moneter, dan sektor eksternal.
Keempat sektor tersebut saling terkait dan efektivitas kebijakan masing-masing sektor sangat bergantung pada sektor lainnya.Ego sektoral dapat mendorong terjadinya krisis ekonomi atau setidaknya semakin merosotnya kesejahteraan rakyat. Pentingnya koordinasi antara semua sektor ekonomi baik makro dan mikro tersebut dijabarkan di bagian 1 dan 2 dalam buku ini.
Selain koordinasi antarsektor, deregulasi komprehensif ekonomi juga merupakan faktor penting dalam menjaga ketahanan ekonomi. Sebagai pengikutekonomipasar,penulis menyadari bahwa deregulasi sektor ekonomi dan keuangan dapat mendorong suatu perekonomian menjadi lebih efisien dan berdaya saing tinggi di dunia internasional.
Tetapi sebagaimana negara berkembang, Indonesia juga menghadapi permasalahan adanya distorsi ekonomi karena informasi yang tidak simetris di pasar. Dengan demikian, deregulasi ekonomi yang dilakukan juga harus sejalan dengan kondisi perekonomian suatu negara.Deregulasi sektor keuangan yang dilakukan pada 1 Juni 1983 dan Pakto 27 Oktober 1988 telah mengubah secara fundamental sektor keuangan dari sistem autorian ke mekanisme pasar.
Sebagai pembuat kebijakan yang memiliki dasar akademik yang kuat, penulis telah mengingatkan bahayanya deregulasi yang dilakukan Indonesia khususnya lagi Pakto 88. Ternyata, dugaan penulis benar setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997– 1998. Pelajaran yang diperoleh dari krisis ekonomi pada 1997– 1998 tidak hanya dari sisi kesalahan urutan deregulasi, tetapi juga menyangkut aspek yang lebih luas.
Deregulasi sektor keuangan tanpa diimbangi dengan regulasi yang memadai, pengawasan, dan GCG yang baik ternyata juga dapat menyebabkankelemahan fundamental di tingkat mikro atau perusahaan. Tidak kuatnya fundamental ekonomi Indonesia di tingkat mikro tercermin dari lima permasalahan.
Pertama, tingginya ketergantungan pada utang luar negeri. Kedua, utang luar negeri sektor perbankan nasional mempunyai risiko tinggi dari jatuh waktu dan currency missmatch. Ketiga, Kondisi keuangan perbankan lemah karena banyaknya kredit bermasalah. Keempat, putusan pemberian kredit khususnya bank pemerintah sangat kuat dipengaruhi intervensi pemerintah atau tekanan politik atau koneksi.
Kelima, kelemahan GCG. Manajemen yang tidak sehat dan transparan mengakibatkan terjadinya inefisiensi Penguatan di sisi mikro tidak hanya penting untuk sektor keuangan sendiri, tetapi juga penting dalam rangka meningkatkan efektivitas kebijakan moneter.Dengan kondisi dunia usaha yang sehat, fungsi intermediasi perbankan dapat berjalan normal dan stabilitas keuangan dapat terjaga sehingga pada akhirnya transmisi kebijakan moneter dapat berjalan efektif.
Selanjutnya, kesinambungan pertumbuhan ekonomi dapat terjamin dan kemiskinanyangmerupakanmusuh rakyat saat ini dapat dikurangi. Uraian lengkap mengenai penguatan ekonomi pasar, fundamental ekonomi,mikroekonomi, dan sektor keuangantersebutdipaparkansecara terperinci di bagian 2, 3 dan 4 dalam buku ini.
Peranan Pendidikan
Miranda juga meyakini bahwa pendidikan merupakan unsur terpenting dalam meningkatkan produktivitas dan mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju.Pendapat tersebut didasarkan pada pemikiran teori modern ekonomi, seperti Solow Growth Model.
Dalam model tersebut dikemukakan bahwa technological progress merupakan faktor utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.Pengalaman Jepang dalam mengejarketertinggalan ekonominya sehingga dapat menjadi negara maju ditunjang kemampuan negara tersebut menguasai pengetahuan dan teknologi. Sebagai penulis yang mempercayai pentingnya peranan pendidikan dan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan kapasitas melalui pendidikan dan penguasaan teknologi merupakan keharusan bagi suatu negara.
Salah satu pendekatan untuk meningkatkan kualitas pekerja adalah melalui peningkatan pendidikan dasar, pelatihan, dan peningkatan akses semua lapisan masyarakat melalui kebijakan pendidikan yang optimal. Buku ini kaya dengan pengalaman sehingga mampu menjembatani antara teori ekonomi dan praktik pengambilan putusan mengenai kebijakan makroekonomi di lapangan.
Dengan demikian,tidaklah mengherankan jika buku ini penting dibaca mahasiswa yang mendalami kebijakan ekonomi Indonesia dan ekonom profesional karena memiliki informasi berharga mengenai teori dan kebijakan yang terkaitdenganmakroekonomi.

Jakarta dan Riwayat Kota Banjir

Siapa sangka dibalik gagah dan perkasanya pembangunan Kota Jakarta ternyata menyimpan satu titik lemah yakni kegagalan sistem manajemen air. Hanya dalam waktu satu hari hujan lebat yang melanda ibukota negara ini, air telah menenggelamkan sebagian wilayahnya. Siklus 5 tahunan banjir ibukota pun terbantahkan. Hal ini berarti setiap saat semua penduduk Jakarta harus siap dengan akibat terburuk akibat hujan dengan volume besar. Sementara itu, dapat kita bayangkan berapa besar kerugian akibat banjir. Sebagai ilustrasi, Akibat banjir 1 Februari 2008, Angkasa Pura II menyatakan mengalami kerugian sebesar Rp 5,4 Miliar akibat tak beroperasi karena cuaca buruk. Belum lagi, penumpang pesawat yang terlantar di bandara akibat akses dari dan ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta terputus.
Namun, hal itu belum seberapa jika dibandingkan dengan kerugian akibat berhentinya roda perekonomian pada saat banjir. Tak hanya itu, kerugian fisik dan mental akibat banjir juga harus diperhitungkan. Hal ini sebenarnya tak harus terjadi jika pengelolaan air dilakukan secara benar dan menyeluruh.
Saatnya berbenah
Sebenarnya, masalah banjir bukan hanya masalah saat ini, dahulu sejak zaman Pemerintahan Belanda pun Jakarta sudah dihantui masalah ini. Akibat dari letak geografisnya yang lebih rendah dari permukaan laut, kapanpun dan tanpa hujan besar pun Jakarta rawan cengkeraman banjir. Oleh karena itu, Banjir Kanal Barat dan situ-situ dibangun untuk mengelola air dengan benar. Namun, seiring bertambahnya penduduk dan kebiasaan buruk masyarakat yang selalu menjadikan sungai menjadi tempat sampah berjalan yang dekat dan mudah untuk digunakan, maka sistem manajemen air harus diubah dan diperbaiki.
Sudah saatnya pemerintah Jakarta membuat blue-print manajemen air yang komprehensif dan terintergrasi dengan daerah – daerah penyangga di sekitarnya. Jakarta merupakan muara dan hilir dari beberapa sungai besar yang mengalir dari luar kota sehingga perbaikan juga harus dilakukan dari hulu sungai-sungai tersebut. Kemudian pemberdayaan kembali situ-situ sebagai tempat parkir air di daerah sekitar Jakarta juga harus dilakukan. Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup, jumlah situ di daerah sekitar Jakarta jumlahnya terus-menerus menyusut dan banyak yang kritis, sehingga perlu revitalisasi peran situ sebagai tempat penampungan air.
Hal yang paling penting dilakukan adalah penyuluhan dan pendidikan bagi masyarakat di sekitar bantaran sungai agar tidak menjadikan sungai sebagai tempat sampah raksasa. Selain itu, pemerintah Jakarta juga sebaiknya menyediakan tempat-tempat sampah bagi warga di sekitar bantaran sungai agar mereka tak lagi membuang sampahnya di sungai. Selain itu, konversi lahan tempat penampungan air menjadi lahan-lahan bisnis dan permukiman tak boleh lagi terjadi. Jangan hanya karena mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sebesar-besarnya kemudian melupakan kewajiban untuk menjaga lingkungan dan pengelolaan air secara benar.
Semua ini membutuhkan penegakan hukum yang kuat dari pemerintah dan partisipasi semua lapisan masyarakat untuk menjalankan ini semua, karena Jakarta tak hanya menjadi simbol dan contoh pembangunan daerah tetapi juga menjadi ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga nantinya tak lagi kita melihat seorang presiden harus berganti mobil dan bermacet-macetan hanya karena banjir. Apa kata dunia!

LEMBAGA MEDIASI PERBANKAN INDEPENDEN: SOLUSI KEBUNTUAN NEGOSIASI NASABAH DAN BANK

LEMBAGA MEDIASI PERBANKAN INDEPENDEN: SOLUSI KEBUNTUAN NEGOSIASI NASABAH DAN BANK

Oleh : Fakhrul Aufa

Industri perbankan adalah bisnis yang mengelola dana masyarakat dalam jumlah sangat besar. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), hingga akhir Agustus 2007, dana pihak ketiga (DPK) atau uang masyarakat yang dihimpun perbankan mencapai Rp1.389 triliun. Sementara kredit yang disalurkan mencapai Rp936,8 triliun.
Wajar saja, dengan dana sebesar itu, muncul friksi atau perselisihan antara nasabah dan bank. Persoalan yang sering kali muncul adalah perselisihan yang tidak diselesaikan secara cepat sehingga melahirkan sengketa antara nasabah dan bank. Sebagai contoh kasus, karena komunikasi yang tidak lancar antara nasabah dan bank, titik temu yang dicari keduanya tidak juga muncul. Akibatnya, nasabah mengadukan sengketa itu ke aparat kepolisian.
Setelah itu, sengketa akan memasuki ke babak baru yang lebih rumit,yakni pengadilan. Masalah yang tadinya bersifat privasi karena hanya melibatkan dua pihak yang bersengketa, terpaksa menjadi konsumsi publik. Buat bank, hal itu tentu publikasi yang buruk,walaupun bank belum tentu bersalah dalam kasus sengketa itu. Sementara bagi nasabah, penyelesaian sengketa di meja hijau juga akan menyulitkan. Pasalnya, nasabah harus menyiapkan dana yang besar untuk membayar pengacara serta mengorbankan waktu untuk urusan pengadilan.
Dari contoh kasus tersebut dapat kita lihat, media atau saluran penyelesaian sengketa yang mekanismenya mudah dan cepat belum muncul di Indonesia. Dalam istilah hukum, cara penyelesaian sengketa itu dikenal dengan istilah mediasi. Melihat kebutuhan itu, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas tertinggi dalam masalah moneter tidak tinggal diam.
Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah tidak selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dapat diakibatkan oleh tuntutan nasabah yang tidak dipenuhi bank, baik seluruhnya maupun sebagian.
Pada gilirannya, ketidakpuasan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank, yang apabila berlarut-larut dan tidak segera ditangani dapat mempengaruhi reputasi bank, mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dan merugikan hak-hak nasabah.
Upaya penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank dapat dilakukan melalui negosiasi, konsiliasi, mediasi, arbitrase, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maupun melalui jalur peradilan. Namun demikian, upaya penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau jalur peradilan tidak mudah dilakukan bagi nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil mengingat hal tersebut memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa nasabah dengan bank bagi nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil perlu diupayakan secara sederhana, murah, dan cepat melalui penyelenggaraan mediasi perbankan agar hak-hak mereka sebagai nasabah dapat terjaga dan terpenuhi dengan baik.
Oleh karena itu, melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/ 2006 tentang Mediasi Perbankan, BI secara khusus mengatur soal pendirian lembaga mediasi perbankan di Indonesia. Merujuk pada data BI, sejak 2006 sampai Maret 2007, jumlah kasus sengketa yang masuk ke mediasi perbankan BI tercatat sebanyak 77 kasus. Jenis produk yang paling menimbulkan sengketa adalah sistem pembayaran, diikuti penyaluran kredit,dan penghimpunan dana melalui produk simpanan.
Namun, sampai saat ini, lembaga mediasi perbankan independen tak kunjung terbentuk. Kalaupun ada, mediasi perbankan yang berjalan saat ini masih bersifat sementara dan menjadi bagian dari BI. Sesuai peraturan, paling lambat akhir 2007, lembaga mediasi perbankan yang independen sudah harus terbentuk. Lalu pertanyaan berikutnya ialah Kenapa harus independen?
Karena lembaga itu nantinya berfungsi sebagai mediator atau penengah antara nasabah dan bank. Artinya, lembaga mediasi tidak boleh diisi orang-orang yang terkooptasi atau terkait dengan pihak-pihak yang bersengketa.
Tujuannya, lembaga itu tidak berat sebelah. Kendati begitu, yang menjadi ganjalan, dalam peraturan disebutkan bahwa lembaga mediasi perbankan yang independen nantinya dibentuk asosiasi perbankan. Bukankah lembaga mediasi seharusnya tidak boleh terkooptasi atau terkait dengan pihak yang bersengketa? Oleh karena itu, lembaga mediasi perbankan sebaiknya tidak dibentuk asosiasi perbankan.
Sebab, bisa saja asosiasi perbankan menunjuk dan menempatkan orang-orang yang bisa “kongkalikong”. Apalagi, kalau lembaga mediasi perbankan “dihidupi” dana yang dikumpulkan asosiasi dari bank-bank. Otomatis, lembaga itu bakal mengalami perasaan sungkan kepada bank saat menjadi mediator. Akan lebih baik jika lembaga mediasi perbankan diisi orang-orang yang tidak bersinggungan dengan bank atau nasabah, misalnya orang-orang yang berasal dari kalangan akademisi atau profesional yang dipilih lewat proses terbuka yang bisa diketahui publik.
Tentunya, mereka harus menjalani fit and proper test untuk memastikan bahwa mereka layak secara kemampuan dan kredibel dalam hal menjalankan sebuah negosiasi. Agar orang-orang itu menguasai seluk beluk perbankan, mereka bisa mengikuti pelatihan atau pendidikan singkat soal bisnis dan produk perbankan dari BI.
Sedangkan untuk biaya operasional, pada tahap awal BI memberikan suntikan dana ke lembaga mediasi itu. Tapi, ke depan, lembaga itu harus mencari dana sendiri, misalnya dengan menjadi konsultan dalam hal kemampuan negosiasi di perusahaan-perusahaan nonbank. Alhasil, pendirian lembaga mediasi perbankan yang independen sudah sangat mendesak, terutama karena jumlah pengaduan sengketa perbankan terus meningkat. Lalu seperti apa bentuk Lembaga Mediasi Perbankan Independen (LMI) yang ideal?
Alternatif Pertama LMI dapat berbentuk yayasan dengan dasar hukumnya adalah Undang-undang No. 16 Tahun 2001 tanggal 6 Agustus 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 28 tahun 2004 tanggal 6 Oktober 2004. Sebagai contoh alternatif pertama ialah pada pendirian Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Kemudian, Alternatif Kedua LMI dapat berbentuk Perkumpulan Berbadan Hukum dengan Dasar hukum Ketentuan Tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum (Rechts persoonlijkheid van vereenigingen) Keputusan Raja No. 2 tanggal 28 Maret 1870, S.1870 : 64).Sebagai contoh alternatif kedua ialah pada pendirian Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI).
Lembaga Mediasi Perbankan dapat didirikan oleh Asosiasi atau perserikatan perdata/ikatan sedangkan himpunan yang bukan badan hukum tidak bisa menjadi pendiri Yayasan/Perkumpulan Berbadan Hukum, namun mungkin menjadi anggota Perkumpulan Berbadan Hukum. Sebagai contohnya BAPMI,yang didikan oleh 4 SROS, yakni BEJ, BES, KPEI dan KSEI, kini mempunyai 22 anggota (termasuk 4 pendiri SROS tersebut).
Sebagai suatu lembaga mediasi, LMI harus benar-benar independen. Oleh karena itu pengawasan terhadap jalannya proses mediasi tidak dilakukan oleh Bank Indonesia, tapi oleh Dewan kehormatan yang khusus ditunjuk untuk mengawasai, mengevaluasi dan menetapkan ada tidaknya mediator yang bertindak keliru/salah, menyalahgunakan atau melampaui batas kewenangan. Sehingga diharapkan akan terbentuk Lembaga Mediasi Perbankan yang benar-benar independen dan dapat bekerja dengan optimal.
Kelak, ada dua hal yang dapat menjadi fungsi dari LMI. Pertama adalah complain management. Mekanisme pengaduan tersebut nothing to do dengan LMI. Lembaga itu baru akan ada dan diperlukan kalau ternyata dari komplain normal ini nasabah juga tak puas, sehingga nasabah bisa mengajukan ke pengadilan. Tetapi, kalau menempuh mekanisme pengadilan, akan mahal biayanya. Oleh karena itu, nasabah bisa pergi ke lembaga mediasi yang telah dibentuk ini. Lembaga ini tentunya akan berfungsi sebagai lembaga mediasi perbankan. Dan, tentu saja, lembaga mediasi itu bisa hanya berperan sebagai mediator yang mempertemukan dua pihak tersebut. Atau, lembaga ini bertindak sebagai arbitrator. Tapi, yang jelas, kedua kemungkinan itu bisa saja dilakukan. Selain sebagai mediator, LMI dapat juga dilengkapi dengan fungsi arbitrator.
Terbentuknya LMI tak hanya menguntungkan bagi nasabah, perbankan juga akan mendapat keuntungan dari terbentuknya LMI. Ada beberapa keuntungan yang bisa didapat oleh perbankan akibat terbentuknya LMI. Pertama, bank bisa membuat nasabah menjadi lebih betah karena setiap ada persoalan yang dirasakan oleh nasabah dapat dijawab dengan jelas oleh bank. Bila nasabah makin betah, diharapkan akan menunjukkan loyalitas nasabah yang akan makin teruji.
Kedua, adanya komplain dapat menjadi informasi berharga bagi manajemen bank. Dengan demikian, kalau manajemen bank mengetahui bahwa ternyata komplain banyak terjadi pada bidang tertentu, misalnya, dapat segera diperbaiki. Terkait dengan loyalitas nasabah, dengan adanya komplain nasabah, akan menjadi warning bagi bank. Artinya, manajemen bank yang bersangkutan menjadi tahu, aspek mana saja yang banyak dikeluhkan nasabah. Dengan demikian, aspek tersebut dapat langsung diperbaiki sisi lemahnya.
Manfaat lain bagi bank, bagian market research pada bank tersebut jadi mengetahui kelemahannya di mana saja. Hal ini menjadikan efisiensi karena market research tak perlu menyewa supervisi dari luar. Selain itu, reputasi bank bersangkutan makin bagus karena layanan bank tersebut juga mengalami perbaikan. Hal lain, bila terdapat negative publicity, bisa segera diketahui atau diminimalisasi. Daripada ketidakpuasan nasabah terhadap suatu bank dituliskan di surat pembaca media massa, lebih baik langsung ditangani. Sebab, kalau nasabah komplain di media massa, setidaknya, reputasi bank tersebut bakal buruk. Jadi, sekali lagi, jangan dilihat lembaga ini hanya untuk konsumen semata. Karena, banyak juga manfaatnya bagi bank. Walaupun namanya perlindungan pada nasabah, tapi, sebetulnya, banyak manfaatnya untuk kedua pihak.
Sedangkan buat nasabah, lembaga mediasi perbankan akan memberikan jaminan terhadap perlindungan konsumen di industri perbankan. Sementara itu, Bagi BI sendiri, keberadaan lembaga mediasi perbankan akan sangat membantu mewujudkan pilar keenam Arsitektur Perbankan Indonesia,yakni perlindungan nasabah.Yang paling penting, Lembaga mediasi perbankan independen dapat melancarkan kembali saluran komunikasi dan negosiasi antara nasabah dan bank yang sempat mengalami kebuntuan.



Kedelai dan Republik Tahu-Tempe




Belum lagi selesai masalah kelangkaan minyak tanah di kalangan masyarakat, masyarakat kembali dikejutkan dengan kelangkaan lauk-pauk yang selama ini dikenal akrab yakni tahu dan tempe. Produksi tahu dan tempe terus menurun karena banyak produsen yang tak mau lagi berproduksi akibat tingginya biaya bahan baku. Tak ayal lagi, selama beberapa hari ini tahu dan tempe seakan menghilang dari peredaran. Pukulan telak lagi bagi masyarakat kecil yang terkena dampak langsung.

Tahu-tempe seakan menjadi pendamping makanan pokok masyarakat kecil yang tak diperkenankan akan naik harganya. Tak mengherankan dan sudah menjadi rahasia umum di masyarakat kita, mulai dari presiden, birokrat, pelajar dan mahasiswa sampai residivis pun suka dengan tahu-tempe.

Naiknya harga kedelai, bahan baku tahu-tempe, memang tak dapat dihindarkan karena negara ini menggantungkan kedelai dari impor. Tingginya kebutuhan domestik yang tak dapat dipenuhi oleh produsen dalam negeri memaksa bahan baku harus didatangkan dari luar negeri. Sungguh ironis, tahu dan tempe yang selama ini akrab di sekitar kita ternyata sangat bergantung pada pasokan dari luar negeri. Padahal, Indonesia merupakan negara produsen tahu-tempe terbesar di dunia.

Gagalnya Ketahanan Pangan
Kelangkaan dan mahalnya bahan baku tahu-tempe menunjukkan bahwa ketahanan pangan, terutama kedelai ternyata belum maksimal. Ini merupakan sinyal yang sangat berbahaya bagi pemerintah mengingat untuk menjamin ketahanan pangan saja, pemerintah belum maksimal, bagaimana bisa memakmurkan rakyat yang menjadi tujuan luhur dari berdirinya bangsa ini?

Gejala kelangkaan kedelai memang telah terjadi beberapa tahun silam, ketika banyak petani mengonversi lahan pertanian kedelainya menjadi lahan – lahan jagung dan tanaman hortikultura lainnya. Harga jual kedelai yang rendah menjadi alasan kenapa petani melakukan hal tersebut.

Pemerintah bukannya tinggal diam. Selama beberapa tahun belakangan ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mendorong peningkatan produksi kedelai. Melalui program Bangkit Kedelai misalnya, pemerintah telah menargetkan produksi kedelai secara besar-besaran. Namun, belum lama dan selesai program tersebut, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan baru dengan menghapus bea masuk kedelai.

Tentu saja, kebijakan tersebut tak dapat diandalkan terus menerus, sebab hal itu hanya efektif dalam meredam kenaikan harga dalam jangka pendek saja. Kebijakan jangka panjang pun harus kita pikirkan. Hal yang dapat dilakukan pemerintah adalah memberikan insentif bagi petani agar kembali menanam kedelai, insentif dapat berupa bibit gratis, subsidi pupuk, perbaikan sarana dan prasarana pertanian, dan peningkatan harga jual kedelai di pasaran.

Menurut survei di lapangan, kedelai produksi dalam negeri ternyata lebih disukai ketimbang produksi luar negeri, dari segi kualitas dan hasil produk. Ini juga merupakan sebuah keuntungan sendiri bagi negeri ini jika ingin memperbaiki skema kebijakan ketahanan pangan kedelainya. Mengingat, kedelai adalahbahan baku makanan yang sangat digemari di Republik ini dan dapat menjadi identitas bangsa.

Infrastruktur Jalan yang kacau Balau

Ada hal menarik yang patut kita cermati ketika terjadi hujan hampir di seluruh bagian negara ini. Setiap kali hujan dapat kita lihat bahwa infrastruktur jalanan selalu rusak dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Penyebabnya mulai dari letak geografis jalanan yang kurang mendukung sampai sistem drainase jalan yang tak pernah diurus. Kita semua harus menyadari bahwa jalan adalah akses penting dari berjalannya roda perekonomian bangsa ini. Di saat kita harus membuka akses jalan ke daerah – daerah terpencil yang membutuhkan dana yang tidak sedikit, kita ternyata juga harus mengalokasikan dana perbaikan jalan yang tidak sedikit pula.

Pemerintah dalam hal ini, Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto mengatakan bahwa terdapat 100 km jalan nasional dalam kondisi rusak parah, 23 km diantaranya berada di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya sedangkan 77 km berada di daerah Pantura dan Bagian Timur Sumatera. Namun, ada hal yang menarik dari pernyataan pemerintah, bahwasannya penyebab utama dari rusaknya jalan adalah karena kelebihan beban/tonase kendaraan yang sangat keterlaluan. Dahulu, sebelum adanya tindakan tegas dari pemerintah, tonase kendaraan yang melewati jalan-jalan nasional bisa mencapai lebih dari 2,5 kali lipat dari tonase sebenarnya. Namun ketika telah ada tindakan tegas dari pemerintah, kelebihan beban tersebut menurun hingga 1,5 kali lipat dari tonase seharusnya.

Bisa kita pastikan bahwa kerusakan jalan yang diakibatkan oleh kelebihan tonase kendaraan menduduki puncak penyebab utama rusaknya infrastruktur jalan.

Perbaikan Butuh Dana Besar

Proyek pembuatan infrastuktur jalan merupakan hal yang sangat rawan akan penyimpangan. Walaupun memang selama ini proyek selalu dilakukan melalui sistem tender. Penyimpangan bisa saja melalui pihak eksternal yakni pihak-pihak yang mengikuti tender maupun pihak internal yakni pihak-pihak yang menyelenggarakan tender. Sebagai bukti bahwa proyek pembuatan jalan rawan penyimpangan yakni Menteri PU maupun tim dari departemen terkait telah melakukan pengecekan kualitas aspal yang digunakan untuk membuat jalan di depot Pertamina Cilacap. Kualitas aspal ketika diteliti merupakan kualitas yang baik, namun apa yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa kualitas aspal jauh di bawah standar. Wajar saja jika banyak jalan rusak sebelumnya waktunya kendati baru saja diperbaiki.

Menteri PU mengatakan bahwa untuk memperbaiki jalan yang rusak dibutuhkan dana sekitar 54 miliar rupiah. Coba kita merenung sejenak apakah pantas kita setiap tahun harus mengeluarkan dana sekian banyak hanya untuk memperbaiki jalanan yang peruntukannya selalu tidak sesuai dengan jangka waktunya.

Dalam jangka pendek pemerintah harus mempercepat perbaikan jalanan di daerah yang rusak sehingga nantinya tidak lagi terjadi kemacetan panjang pada lokasi perhubungan yang strategis. Hendaknya, kita semua juga harus mengawasi proyek pembangunan jalan sehingga tidak lagi ada kesan asal-asalan dalam pembuatannya. Transparansi proyek tender juga sepatutnya dilakukan kepada semua pihak sehingga tidak ada lagi kesan mementingkan golongan tertentu. Mengingat pembangunan infrastruktur jalan merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi yang tinggi, jangan sampai hal tersebut disepelekan dan dianggap kecil.