Siapa sangka dibalik gagah dan perkasanya pembangunan Kota Jakarta ternyata menyimpan satu titik lemah yakni kegagalan sistem manajemen air. Hanya dalam waktu satu hari hujan lebat yang melanda ibukota negara ini, air telah menenggelamkan sebagian wilayahnya. Siklus 5 tahunan banjir ibukota pun terbantahkan. Hal ini berarti setiap saat semua penduduk Jakarta harus siap dengan akibat terburuk akibat hujan dengan volume besar. Sementara itu, dapat kita bayangkan berapa besar kerugian akibat banjir. Sebagai ilustrasi, Akibat banjir 1 Februari 2008, Angkasa Pura II menyatakan mengalami kerugian sebesar Rp 5,4 Miliar akibat tak beroperasi karena cuaca buruk. Belum lagi, penumpang pesawat yang terlantar di bandara akibat akses dari dan ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta terputus.
Namun, hal itu belum seberapa jika dibandingkan dengan kerugian akibat berhentinya roda perekonomian pada saat banjir. Tak hanya itu, kerugian fisik dan mental akibat banjir juga harus diperhitungkan. Hal ini sebenarnya tak harus terjadi jika pengelolaan air dilakukan secara benar dan menyeluruh.
Saatnya berbenah
Sebenarnya, masalah banjir bukan hanya masalah saat ini, dahulu sejak zaman Pemerintahan Belanda pun Jakarta sudah dihantui masalah ini. Akibat dari letak geografisnya yang lebih rendah dari permukaan laut, kapanpun dan tanpa hujan besar pun Jakarta rawan cengkeraman banjir. Oleh karena itu, Banjir Kanal Barat dan situ-situ dibangun untuk mengelola air dengan benar. Namun, seiring bertambahnya penduduk dan kebiasaan buruk masyarakat yang selalu menjadikan sungai menjadi tempat sampah berjalan yang dekat dan mudah untuk digunakan, maka sistem manajemen air harus diubah dan diperbaiki.
Sudah saatnya pemerintah Jakarta membuat blue-print manajemen air yang komprehensif dan terintergrasi dengan daerah – daerah penyangga di sekitarnya. Jakarta merupakan muara dan hilir dari beberapa sungai besar yang mengalir dari luar kota sehingga perbaikan juga harus dilakukan dari hulu sungai-sungai tersebut. Kemudian pemberdayaan kembali situ-situ sebagai tempat parkir air di daerah sekitar Jakarta juga harus dilakukan. Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup, jumlah situ di daerah sekitar Jakarta jumlahnya terus-menerus menyusut dan banyak yang kritis, sehingga perlu revitalisasi peran situ sebagai tempat penampungan air.
Hal yang paling penting dilakukan adalah penyuluhan dan pendidikan bagi masyarakat di sekitar bantaran sungai agar tidak menjadikan sungai sebagai tempat sampah raksasa. Selain itu, pemerintah Jakarta juga sebaiknya menyediakan tempat-tempat sampah bagi warga di sekitar bantaran sungai agar mereka tak lagi membuang sampahnya di sungai. Selain itu, konversi lahan tempat penampungan air menjadi lahan-lahan bisnis dan permukiman tak boleh lagi terjadi. Jangan hanya karena mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sebesar-besarnya kemudian melupakan kewajiban untuk menjaga lingkungan dan pengelolaan air secara benar.
Semua ini membutuhkan penegakan hukum yang kuat dari pemerintah dan partisipasi semua lapisan masyarakat untuk menjalankan ini semua, karena Jakarta tak hanya menjadi simbol dan contoh pembangunan daerah tetapi juga menjadi ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga nantinya tak lagi kita melihat seorang presiden harus berganti mobil dan bermacet-macetan hanya karena banjir. Apa kata dunia!
Selasa, 04 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar