Selasa, 04 Maret 2008

LEMBAGA MEDIASI PERBANKAN INDEPENDEN: SOLUSI KEBUNTUAN NEGOSIASI NASABAH DAN BANK

LEMBAGA MEDIASI PERBANKAN INDEPENDEN: SOLUSI KEBUNTUAN NEGOSIASI NASABAH DAN BANK

Oleh : Fakhrul Aufa

Industri perbankan adalah bisnis yang mengelola dana masyarakat dalam jumlah sangat besar. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), hingga akhir Agustus 2007, dana pihak ketiga (DPK) atau uang masyarakat yang dihimpun perbankan mencapai Rp1.389 triliun. Sementara kredit yang disalurkan mencapai Rp936,8 triliun.
Wajar saja, dengan dana sebesar itu, muncul friksi atau perselisihan antara nasabah dan bank. Persoalan yang sering kali muncul adalah perselisihan yang tidak diselesaikan secara cepat sehingga melahirkan sengketa antara nasabah dan bank. Sebagai contoh kasus, karena komunikasi yang tidak lancar antara nasabah dan bank, titik temu yang dicari keduanya tidak juga muncul. Akibatnya, nasabah mengadukan sengketa itu ke aparat kepolisian.
Setelah itu, sengketa akan memasuki ke babak baru yang lebih rumit,yakni pengadilan. Masalah yang tadinya bersifat privasi karena hanya melibatkan dua pihak yang bersengketa, terpaksa menjadi konsumsi publik. Buat bank, hal itu tentu publikasi yang buruk,walaupun bank belum tentu bersalah dalam kasus sengketa itu. Sementara bagi nasabah, penyelesaian sengketa di meja hijau juga akan menyulitkan. Pasalnya, nasabah harus menyiapkan dana yang besar untuk membayar pengacara serta mengorbankan waktu untuk urusan pengadilan.
Dari contoh kasus tersebut dapat kita lihat, media atau saluran penyelesaian sengketa yang mekanismenya mudah dan cepat belum muncul di Indonesia. Dalam istilah hukum, cara penyelesaian sengketa itu dikenal dengan istilah mediasi. Melihat kebutuhan itu, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas tertinggi dalam masalah moneter tidak tinggal diam.
Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah tidak selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dapat diakibatkan oleh tuntutan nasabah yang tidak dipenuhi bank, baik seluruhnya maupun sebagian.
Pada gilirannya, ketidakpuasan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank, yang apabila berlarut-larut dan tidak segera ditangani dapat mempengaruhi reputasi bank, mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dan merugikan hak-hak nasabah.
Upaya penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank dapat dilakukan melalui negosiasi, konsiliasi, mediasi, arbitrase, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maupun melalui jalur peradilan. Namun demikian, upaya penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau jalur peradilan tidak mudah dilakukan bagi nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil mengingat hal tersebut memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa nasabah dengan bank bagi nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil perlu diupayakan secara sederhana, murah, dan cepat melalui penyelenggaraan mediasi perbankan agar hak-hak mereka sebagai nasabah dapat terjaga dan terpenuhi dengan baik.
Oleh karena itu, melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/ 2006 tentang Mediasi Perbankan, BI secara khusus mengatur soal pendirian lembaga mediasi perbankan di Indonesia. Merujuk pada data BI, sejak 2006 sampai Maret 2007, jumlah kasus sengketa yang masuk ke mediasi perbankan BI tercatat sebanyak 77 kasus. Jenis produk yang paling menimbulkan sengketa adalah sistem pembayaran, diikuti penyaluran kredit,dan penghimpunan dana melalui produk simpanan.
Namun, sampai saat ini, lembaga mediasi perbankan independen tak kunjung terbentuk. Kalaupun ada, mediasi perbankan yang berjalan saat ini masih bersifat sementara dan menjadi bagian dari BI. Sesuai peraturan, paling lambat akhir 2007, lembaga mediasi perbankan yang independen sudah harus terbentuk. Lalu pertanyaan berikutnya ialah Kenapa harus independen?
Karena lembaga itu nantinya berfungsi sebagai mediator atau penengah antara nasabah dan bank. Artinya, lembaga mediasi tidak boleh diisi orang-orang yang terkooptasi atau terkait dengan pihak-pihak yang bersengketa.
Tujuannya, lembaga itu tidak berat sebelah. Kendati begitu, yang menjadi ganjalan, dalam peraturan disebutkan bahwa lembaga mediasi perbankan yang independen nantinya dibentuk asosiasi perbankan. Bukankah lembaga mediasi seharusnya tidak boleh terkooptasi atau terkait dengan pihak yang bersengketa? Oleh karena itu, lembaga mediasi perbankan sebaiknya tidak dibentuk asosiasi perbankan.
Sebab, bisa saja asosiasi perbankan menunjuk dan menempatkan orang-orang yang bisa “kongkalikong”. Apalagi, kalau lembaga mediasi perbankan “dihidupi” dana yang dikumpulkan asosiasi dari bank-bank. Otomatis, lembaga itu bakal mengalami perasaan sungkan kepada bank saat menjadi mediator. Akan lebih baik jika lembaga mediasi perbankan diisi orang-orang yang tidak bersinggungan dengan bank atau nasabah, misalnya orang-orang yang berasal dari kalangan akademisi atau profesional yang dipilih lewat proses terbuka yang bisa diketahui publik.
Tentunya, mereka harus menjalani fit and proper test untuk memastikan bahwa mereka layak secara kemampuan dan kredibel dalam hal menjalankan sebuah negosiasi. Agar orang-orang itu menguasai seluk beluk perbankan, mereka bisa mengikuti pelatihan atau pendidikan singkat soal bisnis dan produk perbankan dari BI.
Sedangkan untuk biaya operasional, pada tahap awal BI memberikan suntikan dana ke lembaga mediasi itu. Tapi, ke depan, lembaga itu harus mencari dana sendiri, misalnya dengan menjadi konsultan dalam hal kemampuan negosiasi di perusahaan-perusahaan nonbank. Alhasil, pendirian lembaga mediasi perbankan yang independen sudah sangat mendesak, terutama karena jumlah pengaduan sengketa perbankan terus meningkat. Lalu seperti apa bentuk Lembaga Mediasi Perbankan Independen (LMI) yang ideal?
Alternatif Pertama LMI dapat berbentuk yayasan dengan dasar hukumnya adalah Undang-undang No. 16 Tahun 2001 tanggal 6 Agustus 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 28 tahun 2004 tanggal 6 Oktober 2004. Sebagai contoh alternatif pertama ialah pada pendirian Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Kemudian, Alternatif Kedua LMI dapat berbentuk Perkumpulan Berbadan Hukum dengan Dasar hukum Ketentuan Tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum (Rechts persoonlijkheid van vereenigingen) Keputusan Raja No. 2 tanggal 28 Maret 1870, S.1870 : 64).Sebagai contoh alternatif kedua ialah pada pendirian Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI).
Lembaga Mediasi Perbankan dapat didirikan oleh Asosiasi atau perserikatan perdata/ikatan sedangkan himpunan yang bukan badan hukum tidak bisa menjadi pendiri Yayasan/Perkumpulan Berbadan Hukum, namun mungkin menjadi anggota Perkumpulan Berbadan Hukum. Sebagai contohnya BAPMI,yang didikan oleh 4 SROS, yakni BEJ, BES, KPEI dan KSEI, kini mempunyai 22 anggota (termasuk 4 pendiri SROS tersebut).
Sebagai suatu lembaga mediasi, LMI harus benar-benar independen. Oleh karena itu pengawasan terhadap jalannya proses mediasi tidak dilakukan oleh Bank Indonesia, tapi oleh Dewan kehormatan yang khusus ditunjuk untuk mengawasai, mengevaluasi dan menetapkan ada tidaknya mediator yang bertindak keliru/salah, menyalahgunakan atau melampaui batas kewenangan. Sehingga diharapkan akan terbentuk Lembaga Mediasi Perbankan yang benar-benar independen dan dapat bekerja dengan optimal.
Kelak, ada dua hal yang dapat menjadi fungsi dari LMI. Pertama adalah complain management. Mekanisme pengaduan tersebut nothing to do dengan LMI. Lembaga itu baru akan ada dan diperlukan kalau ternyata dari komplain normal ini nasabah juga tak puas, sehingga nasabah bisa mengajukan ke pengadilan. Tetapi, kalau menempuh mekanisme pengadilan, akan mahal biayanya. Oleh karena itu, nasabah bisa pergi ke lembaga mediasi yang telah dibentuk ini. Lembaga ini tentunya akan berfungsi sebagai lembaga mediasi perbankan. Dan, tentu saja, lembaga mediasi itu bisa hanya berperan sebagai mediator yang mempertemukan dua pihak tersebut. Atau, lembaga ini bertindak sebagai arbitrator. Tapi, yang jelas, kedua kemungkinan itu bisa saja dilakukan. Selain sebagai mediator, LMI dapat juga dilengkapi dengan fungsi arbitrator.
Terbentuknya LMI tak hanya menguntungkan bagi nasabah, perbankan juga akan mendapat keuntungan dari terbentuknya LMI. Ada beberapa keuntungan yang bisa didapat oleh perbankan akibat terbentuknya LMI. Pertama, bank bisa membuat nasabah menjadi lebih betah karena setiap ada persoalan yang dirasakan oleh nasabah dapat dijawab dengan jelas oleh bank. Bila nasabah makin betah, diharapkan akan menunjukkan loyalitas nasabah yang akan makin teruji.
Kedua, adanya komplain dapat menjadi informasi berharga bagi manajemen bank. Dengan demikian, kalau manajemen bank mengetahui bahwa ternyata komplain banyak terjadi pada bidang tertentu, misalnya, dapat segera diperbaiki. Terkait dengan loyalitas nasabah, dengan adanya komplain nasabah, akan menjadi warning bagi bank. Artinya, manajemen bank yang bersangkutan menjadi tahu, aspek mana saja yang banyak dikeluhkan nasabah. Dengan demikian, aspek tersebut dapat langsung diperbaiki sisi lemahnya.
Manfaat lain bagi bank, bagian market research pada bank tersebut jadi mengetahui kelemahannya di mana saja. Hal ini menjadikan efisiensi karena market research tak perlu menyewa supervisi dari luar. Selain itu, reputasi bank bersangkutan makin bagus karena layanan bank tersebut juga mengalami perbaikan. Hal lain, bila terdapat negative publicity, bisa segera diketahui atau diminimalisasi. Daripada ketidakpuasan nasabah terhadap suatu bank dituliskan di surat pembaca media massa, lebih baik langsung ditangani. Sebab, kalau nasabah komplain di media massa, setidaknya, reputasi bank tersebut bakal buruk. Jadi, sekali lagi, jangan dilihat lembaga ini hanya untuk konsumen semata. Karena, banyak juga manfaatnya bagi bank. Walaupun namanya perlindungan pada nasabah, tapi, sebetulnya, banyak manfaatnya untuk kedua pihak.
Sedangkan buat nasabah, lembaga mediasi perbankan akan memberikan jaminan terhadap perlindungan konsumen di industri perbankan. Sementara itu, Bagi BI sendiri, keberadaan lembaga mediasi perbankan akan sangat membantu mewujudkan pilar keenam Arsitektur Perbankan Indonesia,yakni perlindungan nasabah.Yang paling penting, Lembaga mediasi perbankan independen dapat melancarkan kembali saluran komunikasi dan negosiasi antara nasabah dan bank yang sempat mengalami kebuntuan.



Tidak ada komentar: