Kamis, 26 Februari 2009

Proteksionisme Ekonomi Indonesia, Mungkinkah?

Krisis ekonomi global telah membuat kekacauan yang benar-benar di luar dugaan. Krisis yang berasal dari Amerika Serikat dengan sangat cepat mempengaruhi perekonomian dunia. Indonesia pun menjadi salah satu korban dari adanya krisis ekonomi global tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena Indonesia, sebagai negara dengan perekonomian terbuka, berperan aktif dalam perdagangan internasional.

Produk-produk andalan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dan Eropa seperti tekstil, kopi, teh, menghadapi tantangan berat karena menurunnya permintaan yang sangat besar
dari para pengusaha di Amerika Serikat. Permasalahannya adalah produk-produk tersebut di dalam negeri menyerap tenaga kerja yang sangat signifikan. Oleh karenanya, ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bukan merupakan sebuah utopia tetapi telah menjadi kenyataan. Sampai dengan akhir Januari 2009, 250.000 orang telah menjadi korban krisis ekonomi global akibat PHK. Lalu apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi hal tersebut ? Menjadi Proteksionis kah?

Banyak pihak termasuk para ekonom memperkirakan dan meramalkan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia 2009 akan berasal dari tiga negara besar Asia yang memiliki pasar yang cukup besar yakni Cina, India, dan Indonesia. Indonesia boleh berbangga diri karena dianggap akan menopang pertumbuhan ekonomi dunia karena pangsa pasar domestiknya yang masih cukup besar. Namun, kalau kita lihat bukti empiris pasar di Indonesia, masih jauh sekali dari sempurna. Masih membanjirnya produk impor baik yang legal maupun ilegal inilah yang membuat pasar terdistorsi menjadi tak sempurna. Selain itu, masyarakat Indonesia sendiri tidak bangga dengan produk negaranya sendiri.

Ide proteksionisme muncul ketika Amerika Serikat mulai cenderung membangun ekonominya dengan sikap proteksionis. Kongres AS membujuk Presiden Obama untuk menyetujui undang-undang Buy America. Tentu saja hal ini langsung diprotes oleh mitra dagang AS termasuk juga Indonesia. Berubah menjadi sebuah negara yang proteksionis di masa krisis saat ini bukanlah sikap yang arif dan bijak dilaksanakan. Indonesia telah lama menjadi negara dengan perekonomian terbuka terutama sejak rezim Soeharto berkuasa. Pasar domestik memang penting untuk mengantisipasi krisis dalam jangka pendek namun hal tersebut belum cukup dalam membangun dan memulihkan kembali negara ini dalam jangka panjang. Walaupun memang dalam data BPS bulan Januari 2009, ekspor kita turun 9 %, namun bukan berarti ini sinyal untuk menjadi sebuah negara proteksionis.
Indonesia tentu tidak ingin sikap proteksionis yang dilakukan diikuti oleh negara lain dan tentu saja akhirnya akan merugikan Indonesia sendiri.

Apabila krisis telah kita lewati, maka ekspor diharapkan akan kembali berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia serta kembali menyerap tenaga kerja. Namun, adalah hal yang bijak saat kita tidak tergantung begitu saja dengan asing dengan memperkuat perekonomian domestik yang berbasis kerakyatan.

Mengingat krisis ini akan berlangsung lama dan semakin banyak orang yang terkena PHK maka pemerintah mesti fokus dalam jangka pendek dengan memperkuat ekonomi domestik. Selain itu, kampanye penggunaan produk Indonesia harus dilakukan secara masif dan terukur untuk mendukung penguatan ekonomi domestik dalam menghadapi krisis. Hal tersebut juga dibarengi oleh kebijakan pemerintah agar sektor – sektor penghasil produk Indonesia tersebut dibekali keterampilan dan kemampuan agar dapat menghasilkan produk dengan kualitas yang baik dan sesuai dengan selera masyarakat.

Sabtu, 21 Februari 2009

PHK dan Perubahan Paradigma Pembangunan Ekonomi

Krisis ekonomi global telah membuat kekacauan dalam sistem keuangan global. Krisis yang berasal dari Amerika Serikat dengan sangat cepat mempengaruhi perekonomian dunia. Indonesia pun menjadi salah satu korban dari adanya krisis ekonomi global tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena Indonesia, sebagai negara dengan perekonomian terbuka, berperan aktif dalam perdagangan internasional.
Produk-produk andalan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat seperti tekstil, kopi, teh, menghadapi tantangan berat karena menurunnya permintaan yang sangat besar dari para pengusaha di Amerika Serikat. Permasalahannya adalah produk-produk tersebut di dalam negeri menyerap tenaga kerja yang sangat signifikan. Oleh karenanya, ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bukan merupakan sebuah utopia tetapi telah menjadi kenyataan. Sampai dengan akhir Januari 2009, 250.000 orang telah menjadi korban krisis ekonomi global akibat PHK.

Dengan adanya fakta tersebut, target pemerintah untuk mengurangi angka pengangguran dalam “triple track Strategy” dapat dipastikan akan meleset dari target yang telah ditetapkan. Sehingga, diperlukan sebuah alternatif strategi yang memungkinkan untuk mengurangi risiko dan dampak krisis ekonomi global ini bagi perekonomian Indonesia. Selain itu, diperlukan sebuah upaya untuk mengubah arah kebijakan pemerintah yang selama ini selalu bertumpu kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan didasarkan pada efisiensi alokasi sumberdaya, stabilitas sistem keuangan dan peningkatan investasi menuju sistem ekonomi yang berpihak kepada masyarakat banyak.

Mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang sebuah syarat perlu namun bukan merupakan sebuah syarat cukup bagi pembangunan ekonomi bangsa. Dalam situasi krisis ekonomi global, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan sangat sulit. Mengingat ketiga faktor yang diharapkan dapat menopang pertumbuhan ekonomi tersebut sulit untuk ditingkatkan. Efisiensi sumberdaya misalnya dalam krisis ekonomi global akan mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran, selain itu dalam hal investasi, akan sangat sulit untuk mengharapkan tingginya angka investasi di dalam negeri ketika krisis. Mengingat banyaknya dana yang keluar dan kembali ke negara asal dana investasi tersebut seperti di Amerika Serikat, Eropa, dan lain-lain.

Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya mengubah pola, paradigma, dan pendekatan penanggulangan pengangguran dan kemiskinan dengan memberikan pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin dan UMKM. Dengan berpihak pada UMKM, pemerintah akan lebih berpihak pada masyarakat secara langsung dan sektor UMKM sendiri akan lebih produktif dalam bergerak. Sektor UMKM selama beberapa dekade terakhir, memiliki pengalaman yang sangat baik dalam bertahan di tengah krisis ekonomi global. Peningkatan kesempatan kerja akan sangat banyak terjadi di tengah arus PHK yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dan berskala internasional.

Sudah sepatutnya pemerintah memfokuskan penanggulangan pengangguran dan PHK ke arah itu.

Jumat, 02 Januari 2009

2009 : Krisis Finansial, Pemilihan Umum, dan Entrepreneurship

Awal tahun 2008, ketika gejolak krisis subprime mortgage di Amerika Serikat mulai terjadi, beberapa pengamat ekonomi 'mainstream' mengatakan bahwa krisis tersebut tidak akan merambat ke Indonesia mengingat kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang cukup baik dibandingkan dengan kondisi ekonomi pada saat krisis tahun 1998. Namun, seiring perjalanan waktu, pendapat itu mulai terbantahkan. Krisis finansial di AS mulai merembet masuk ke perekonomian Indonesia lewat jalur pasar keuangan.

Indeks harga saham seketika anjlok drastis karena banyaknya modal yang lari dari pasar modal Indonesia. Namun, hal ini belum membuat pemerintah sadar bahwa efek dari krisis tersebut akan jauh lebih dahsyat dari yang dibayangkan sebelumnya. Pemerintah hanya men-suspend sementara perdagangan saham karena terjadi kepanikan yang luar biasa dari para pemodal. Kapitalisasi pasar Indonesia menurun dari Rp. 1.800 triliun dalam satu bulan menjadi hanya Rp. 1.200 triliun saja.

Pada dasarnya, menurut analisis ekonomi, inilah fenomena yang disebut sebagai ekonomi balon (bubble economy). Di Indonesia, hal ini telah terjadi sejak tahun 1988 dan berlanjut hingga saat ini. Misalnya, pada tahun 2007 sektor finansial (pasar modal dan pasar keuangan, belum dihitung pasar utang negara kepada masyarakat berupa SUN, obligasi, SBI) sudah 12 kali lebih besar dibandingkan sektor riil. Ini sebuah fenomena yang seharusnya sejak awal dicermati pemerintah akan bahayanya ketika sewaktu-waktu ekonomi balon ini meletus dalam sekejap. Saat ini, perkiraan tersebut terjadi. Fakta telah menunjukkan bahwa sektor riil telah terkena imbas dari krisis yang awalnya berasal hanya dari macetnya kredit perumahan di AS.

Media massa beberapa hari terkahir melaporkan bahwa dapat kita saksikan hampir semua buruh terutama bagi buruh industri berorientasi ekspor menghadapi ketidakpastian akan masa depannya. Sebuah hal yang patut menjadi perhatian serius oleh pemerintah. Sebab sebelum krisis terjadi, penggangguran sudah mencapai 10 juta orang, diperkirakan ketika krisis terjadi pengganguran akan meningkat secara drastis. Belum termasuk para pekerja dan buruh yang bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Krisis harga komoditas yang juga menimpa ekonomi dunia saat ini memaksa para TKI dari luar negeri harus kehilangan pekerjaannya, sebab kebanyakan dari para TKI di luar negeri adalah mereka yang bekerja di sektor perkebunan, pertanian, dan kehutanan. Dapat kita bayangkan bersama, bagaimana banyaknya para pencari kerja di tahun 2009 nanti.

Tahun 2009, juga menjadi tahun yang spesial buat bangsa ini. Sebab selain penuh dengan ketidakpastian juga ancaman pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, bangsa ini akan melakukan pesta demokrasi terbesar yaitu pemilihan umum, baik anggota legislatif maupun presiden. Adanya pemilihan umum tahun 2009 dapat kita lihat dari beberapa perspektif.

Perspektif yang pertama adalah pemilihan umum akan meningkatkan ancaman ketidakstabilan makroekonomi Indonesia jika nantinya proses tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menimbulkan gesekan-gesekan di antara kelompok masyarakat terutama bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan. Karena penggangguran yang tinggi menyebabkan orang untuk cenderung mencari pekerjaan apapun yang penting dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk salah satunya mencari pekerjaan di bidang “jasa kemasyarakatan”.

Jika kita melihat dari perspektif yang kedua, pemilu tahun depan adalah secercah harapan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Permintaan domestik akan sangat kuat pada 2009 ditambah lagi dengan meningkatnya jumlah uang beredar dan stimulus fiskal yang dilakukan oleh pemerintah.

Perkiraan peningkatan dan kuatnya permintaan domestik pada tahun 2009 harusnya menjadi sinyal bagi pengusaha domestik untuk meningkatkan pangsa pasarnya di Indonesia. Apalagi situasi saat ini, dolar telah terdepresiasi lebih dari 30% sehingga barang-barang impor akan jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan barang lokal.

Oleh karena itu, sudah saatnya kemandirian ekonomi Indonesia didirikan dengan memenuhi kebutuhan domestiknya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Maka saat inilah jiwa entrepreneurship dibutuhkan. Para pengusaha tersebut mestinya muncul dari saat – saat yang darurat seperti saat ini. Para pencari pekerjaan yang berjumlah jutaan tersebut mestinya diarahkan oleh pemerintah maupun pihak swasta untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru. Sehingga multiplier effect lebih banyak terasa dan menjadi solusi khas Indonesia untuk menyelesaikan krisis finansial global.

Meretas Jalan Menuju Kemandirian dan Kedaulatan Energi Nasional

Juara 1 Lomba Karya Tulis Populer FEB UGM

Ketahanan energi menjadi agenda yang semakin mendesak bagi bangsa ini. Sebagai salah satu penggerak roda perekonomian, energi memainkan peranan penting dalam ketahanan nasional. Apalagi, kompetisi dalam memperebutkan sumber energi di antara negara-negara di dunia diperkirakan akan semakin ketat.
Ekspansi industri Cina dan India diperkirakan akan terus memacu laju permintaan energi dunia yang berdampak pada kenaikan harga komoditas energi. Hal ini sudah tampak dari kenaikan harga minyak dunia yang telah mencapai tiga kali lipat selama empat tahun terakhir. Bahkan, awal tahun ini harga minyak dunia sempat menembus 100 dolar AS per barel yang merupakan rekor tertinggi setelah krisis minyak dunia pada awal 1980-an.
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki sumber cadangan energi terbesar di dunia. Bahkan untuk minyak bumi, Indonesia telah melakukan eksploitasi secara komersial sejak tahun 1885, lebih dahulu dari kebanyakan negara di Timur Tengah.

Prospek Awal Ketahanan Energi
Pada awal bangsa ini mulai berdiri, sumber energi yang paling diandalkan adalah minyak bumi. Cerita yang paling spektakuler dari soal minyak bumi justru terjadi ketika rezim Soeharto berkuasa, yaitu minyak sebagai sumber energi utama waktu itu juga merupakan sumber dana berlimpah bagi program ekonomi dan politik pemerintahan. Rezeki nomplok (Windfall Profit) dari oil boom diperoleh karena kombinasi dari faktor-faktor seperti kenaikan harga minyak yang fantastis selama beberapa kali di era 70-an dan 80-an, keanggotaan Indonesia dalam OPEC (Organisasi Pengekspor Minyak Bumi) dan kesediaan rezim untuk berbagi hasil dengan perusahaan minyak asing.
Penerimaan negara secara langsung dari minyak menjadi berlipat ganda ditambah dengan cadangan devisa yang terus tersedia dari hasil ekspor minyak. Perusahaan minyak asing pun tidak segan-segan menambah modal kerjanya secara besar-besaran masuk ke Indonesia.

Dampak tidak langsung yang bersifat lebih besar adalah kesediaan banyak negara dan perusahaan asing memberi piutang serta melakukan penanaman modal secara langsung ke berbagai sektor di Indonesia. Fenomena boom minyak seolah menjadi semacam jaminan bagi modal yang mereka tanamkan di Indonesia ataupun yang diutangkan kepada pemerintah Indonesia. Sebagaian dari proyek asing tersebut memang berfungsi memperlancar operasi industri minyak di Indonesia, misalnya berkaitan dengan infrastruktur listrik (jalan, telekomunikasi, pembangkit listrik) dan nonfisik (ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan, kelancaran mekanisme perdagangan luar negeri dan modernisasi perbankan).

Jika cerita berhenti sampai di situ, maka kita bisa membayangkan suatu negara dengan perekonomian yang tumbuh pesat, kemudian rakyat yang menjadi semakin makmur dan sejahtera. Dalam penalaran sederhana, yang terjadi mestinya adalah sebagai berikut: uang minyak secara berlimpah masuk ke kas negara, membuat pemerintah bisa menjalankan banyak program untuk kesejahteraan rakyat, dengan cadangan devisa yang sangat besar maka Indonesia dapat membeli barang-barang modal atau bahan baku yang dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, kemudian dengan masuknya investasi asing akan terbuka lapangan kerja baru yang luas dan kesempatan untuk transfer teknologi demi kemajuan bangsa di kemudian hari. Dengan utang luar negeri, kita bisa memulai proyek-proyek besar kita sendiri yang hasilnya nanti tidak hanya bisa dipakai untuk melunasi utang tetapi menyediakan generasi berikut suatu infrastruktur produksi yang handal, dengan perbaikan dunia pendidikan tinggi yang meskipun awalnya terkait dengan kebutuhan perusahaan (modal) asing, pada akhirnya tetap akan bermanfaat bagi bangsa sendiri, juga dengan kelancaran mekanisme perdagangan internasional dan modernisasi perbankan, bisa dikembangkan komoditi ekspor unggulan, dan lain sebagainya.

Kenyataan yang terjadi awalnya memang berkesan amat menjanjikan dan alur cerita seolah-olah akan sesuai dengan skenario di atas. Perekonomian Indonesia yang tumbuh pesat terhitung sangat fantastis. Laju pertumbuhan ekonomi sangat tinggi melampaui rata-rata kebanyakan negara, investasi besar-besaran berlangsung di beberapa sektor, inflasi umumnya bisa dikendalikan, neraca pembayaran dan cadangan devisa dalam posisi yang relatif aman dan pengangguran perlahan-lahan bisa ditahan. Di masa itu, pemerintah Indonesia berhasil memaksimalkan rezeki oil boom bagi perkembangan perekonomian secara keseluruhan.

Keadaan kemudian berubah secara drastis hanya dalam waktu setahun, ketika Indonesia mulai terkena resesi ekonomi, dari awal pertengahan tahun 1997 hingga tahun 1998, angka-angka indikator makroekonomi berbalik menjadi amat buruk. Nilai tukar rupiah merosot sangat tajam, pertumbuhan ekonomi menjadi negatif, inflasi sangat tinggi, neraca pembayaran mengalami defisit yang besar, serta cadangan devisa terkuras hampir habis. Segala prestasi mengagumkan selama 30 tahun, sepertinya sirna begitu saja.

Saat ini minyak bumi tak dapat menjadi sumber energi utama bagi Indonesia sebab jumlahnya yang terus menyusut dan kondisi sumur-sumur minyak tersebut telah berumur tua ditambah lagi proses eksplorasi yang memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit relatif stagnan.

Kedaulatan Energi dan Kemakmuran Rakyat
Bahwa pengelolaan energi di Tanah Air sangat erat kaitannya dengan ketahanan energi nasional barangkali telah banyak diketahui khalayak. Bahwa pengelolaan energi di bumi pertiwi ini juga sangat menentukan ketahanan ekonomi nasional juga sepertinya sudah banyak dimengerti oleh masyarakat kita. Namun, bahwa pengelolaan energi di Tanah Air sangat erat kaitannya dengan ('pelanggaran') amanat konstitusi UUD 1945, mungkin tidak cukup banyak yang mencermatinya.

Keterkaitan yang pertama antara pengelolaan energi nasional dan amanat konstitusi UUD 1945 sebenarnya sudah cukup jelas tersirat dalam Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3. Yaitu, bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak diamanatkan untuk dikuasai oleh negara, dan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya juga diamanatkan untuk dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Energi jelas merupakan salah satu cabang produksi yang paling penting dan berpengaruh secara politik ataupun ekonomi bagi negara dan rakyat Indonesia. Sumber energi juga jelas merupakan bagian dari kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia. Oleh karena itu, amanat konstitusi UUD 1945 terkait pengelolaan energi yang harus kita laksanakan bersama sebenarnya sudah sangat jelas, bahwa pengelolaan energi dan sumber energi harus dikuasai oleh negara Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.

Di sini, frase "dikuasai oleh negara" dan "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" pada hakikatnya dapat dikatakan merupakan inti atau ruh dari amanat konstitusi UUD 1945 terkait pengelolaan energi tersebut. Pertanyaannya, apakah amanat itu sudah benar-benar dilaksanakan?

Terkait dengan amanat yang pertama, "dikuasai oleh negara", tak terlalu sulit untuk menjawabnya. Fakta yang ada, khususnya untuk pengelolaan energi yang utama saat ini, yaitu minyak dan gas (migas) serta batu bara, menunjukkan bahwa pengelolaan energi dan sumber energi di Tanah Air sebenarnya secara de facto tidak dikuasai oleh negara Indonesia, tetapi oleh korporasi-korporasi besar, khususnya asing.

Dengan komposisi seperti itu, maka tak mengherankan jika sekitar 55% produksi gas kita juga dialokasikan untuk ekspor jangka panjang 20-30 tahun, sehingga menyisakan defisit gas di beberapa daerah di Tanah Air. Dari produksi minyak mentah yang tak sampai 1 juta barel per hari dan sudah tak cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik pun masih juga diekspor sekitar 30%-nya.

Hal itu terjadi karena karena memang tak ada instrumen yang riil untuk 'memaksa' kontraktor asing tersebut menjual produksinya ke dalam negeri. Akibatnya, kita 'terpaksa' mengimpornya kembali dengan harga yang lebih mahal yang ujung-ujungnya membengkakkan biaya pengadaan dan subsidi BBM. Hal yang sama juga terjadi pada batu bara. Lebih dari 70% produksi batu bara yang ada diekspor, sehingga nyaris tak ada yang tersisa untuk pembangkit listrik PLN.

Konsekuensi yang harus kita tanggung bersama dari tidak dilaksanakannya amanat konstitusi yang pertama, yaitu penguasaaan sumber-sumber energi dan pengelolaan energi oleh negara, tidaklah sedikit. Bahkan dapat dikatakan amat sangat besar dan sulit diukur nilainya. Konsekuensi itu tak lain adalah tidak tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Atau sebenarnya juga tak lain dari amanat yang kedua dari konstitusi UUD 1945 menyangkut pengelolaan energi itu sendiri.

Karena tak dikuasai oleh negara maka energi juga tak mampu memberi sebesar-besar kemakmuran untuk rakyat. Pada saat harga minyak di kisaran US$120 per barel saja, subsidi energi (BBM dan listrik) di APBN sudah mencapai Rp200 triliun lebih atau mendekati 25% dari total belanja negara.

Sementara porsi-porsi besar APBN yang lain juga sudah teralokasikan untuk hal-hal yang cenderung tidak produktif dan tidak bersentuhan langsung dengan peningkatan kemakmuran rakyat seperti pengeluaran rutin yang mencapai 25% dari total belanja, pembayaran bunga utang yang berkisar 15% dari total belanja, dan pembayaran cicilan pokok utang yang mencapai 10% dari total belanja.

Dengan komposisi pengelolaan belanja APBN seperti itu, maka praktis nyaris tak ada lagi yang tersisa untuk peningkatan sebesar-besar kemakmuran rakyat yang sebenarnya seperti untuk pendidikan, penyediaan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Jadi, jelas, ada benang merah yang sangat tegas antara pengelolaan energi di Tanah Air dan pelanggaran amanat konstitusi UUD 1945. Bahwa pelanggaran amanat konstitusi secara de facto menyangkut pengelolaan dan penguasaan energi dan sumber-sumber energi oleh negara, menjadi pemicu atau penyebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran amanat konstitusi yang lain secara de facto pula. Tidak terpenuhinya anggaran pendidikan dan tidak tersedianya pekerjaan yang layak dan cukup bagi rakyat adalah beberapa di antaranya. Maka, mengembalikan kembali penguasaan sumber energi dan pengelolaan energi kepada negara dan rakyat Indonesia dalam arti yang sebenar-benarnya tampaknya sungguh merupakan sebuah agenda mendesak bagi bangsa kita dan tak bisa ditunda-tunda lagi.

Renegosiasi terhadap kontrak-kontrak pertambangan dan migas untuk mengubah klausul-klausul yang merugikan kepentingan nasional adalah salah satu wujud langkah konkret yang semestinya segera dilakukan. Sudah saatnya kita mengelola dan menjadi tuan di tanah kita sendiri sehingga hasil dari perut bumi negeri kita benar-benar bisa kita rasakan manfaatnya.

Pengembangan Energi Alternatif
Salah satu hal yang tidak boleh juga kita lupakan terkait ketahanan energi nasional adalah pengembangan energi alternatif. Sebab, ketahanan energi nasional bukanlah sesuatu hal yang bersifat jangka pendek namun sifatnya jangka panjang dan berkelanjutan.

Karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui, oleh karenanya pemerintah baru – baru ini mencoba untuk membuat kebijakan pengembangan energi alternatif di masa depan yang dapat terlihat dari blue print pengelolaan energi nasional bertajuk Kebijakan energi nasional sesuai dengan peraturan presiden no 5/2006. Pada tahun 2025 kelak, peran minyak bumi sebagai sumber energi direncanakan menjadi maksimal 20 persen. Gas alam akan menjadi minimum 30 persen, batu bara menjadi 33 persen, panas bumi dan biofuel menjadi 5 persen dan sumber energi terbarukan sebesar 5 persen. Selain soal diversifikasi energi, dalam cetak biru tersebut terpampang rencana pengelolaan energi nasional sejak 2006 sampai 2025.

Namun, sayangnya sampai saat ini belum ada langkah-langkah riil pemerintah untuk menuju diversifikasi sumber energi dengan tidak lagi mengandalkan minyak seperti yang terdapat dalam blue print energi nasional. Sebenarnya, jika pemerintah memang berniat untuk mengembangkan sumber energi alternatif, Indonesia akan mengalami surplus energi. Sumber energi dari minyak bumi akan menyumbang 927 ribu barel per hari, ditambah sumbangan dari gas alam yang produksinya setara 700 ribu barel minyak per hari dan dari batu bara produksinya setara dengan 2,6 juta barel minyak per hari. Dengan produksi sumber energi tersebut, berarti terdapat produksi yang setara dengan 4,2 juta barel minyak per hari. Padahal kebutuhan energi dalam negeri hanya 1,2 juta barel per hari. Artinya, jika sumber-sumber energi seperti gas alam atau batu bara benar-benar diberi perhatian oleh pemerintah, krisis energi dan membengkaknya biaya akibat impor minyak bumi tidak pernah akan terjadi.

Dalam cetak biru pengelolaan energi nasional, tercatat beberapa pencapaian yang harus diwujudkan dalam waktu dekat. Pada tahun 2009, misalnya, produksi gas alam cair (LNG) ditargetkan akan bertambah sebanyak 26 ribu ton per hari seiring dengan ditargetkannya tambahan investasi sebesar 300 juta dollar AS. Sampai bulan Maret 2008, produksi LNG tercatat sebesar 1,73 juta ton. Sementara untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi, ditargetkan penambahan daya sebesar 1,32 megawatt. Potensi cadangan panas bumi Indonesia sendiri mencapai 27 ribu gigawatt, tetapi sampai saat ini baru 900 megawatt yang dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Sedangkan untuk pengembangan biodiesel, pemerintah menargetkan investasi sebesar 244 juta dollar AS pada tahun 2009, dan pada tahun yang sama kapasitas produksi bioetanol ditargetkan akan mencapai 21,79 ribu barel per hari. Dan sejauh ini pemerintah menargetkan produksi etanol nasional sebanyak 150 juta liter per tahun dengan bahan baku singkong atau tebu.

Panas Bumi Sebagai Prioritas
Berangkat dari kondisi seperti itu maka pemanfaatan energi panas bumi sebagai salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan energi listrik nasional perlu menjadi prioritas. Ini mengingat panas bumi memenuhi berbagai prasyarat yang diperlukan untuk mewujudkan ketahanan energi nasional. Dilihat dari sisi potensi, cadangan energi panas bumi di Indonesia sangat besar, yaitu 27 ribu MW. Angka ini hampir setara dengan seluruh daya terpasang pembangkit listrik nasional saat ini. Ini belum termasuk potensi panas bumi nonkonvensional yang bisa dimanfaatkan dengan menggunakan teknologi Enhanced Geothermal Systems (EGS). Mengacu pada studi yang dilakukan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT, 2007) dan disponsori oleh Departemen Energi Amerika Serikat, teknologi EGS diperkirakan mampu meningkatkan pemanfaatan energi panas bumi untuk listrik di negara tersebut hingga 100 ribu MW secara berkesinambungan.

Sebagai negara dengan cadangan panas bumi terbesar di dunia, Indonesia tentunya memiliki peluang pemanfaatan panas bumi yang lebih besar dari Amerika Serikat. Panas bumi juga menjadi sebuah jawaban terhadap kondisi pembangkit listrik di Indonesia yang kerap mengalami gangguan akibat kekurangan pasokan bahan bakar.

Hal ini karena pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) tidak memiliki masalah dengan pasokan akibat gangguan transportasi, iklim, maupun cuaca seperti jenis pembangkit yang lain. Karena panas bumi bukan komoditas yang bisa diperdagangkan di pasar internasional, produksi listrik PLTP tidak terpengaruh oleh gejolak harga energi dunia. Bahkan, dengan tingginya harga minyak dunia seperti saat ini, panas bumi berpotensi menyelamatkan devisa negara melalui penghematan pemakaian BBM untuk pembangkitan.

Seandainya pemerintah berhasil memanfaatkan 10 persen saja potensi panas bumi yang ada, 40 juta barel BBM bisa dihemat setiap tahunnya. Jumlah ini tentu sangat bermakna di tengah semakin beratnya beban APBN untuk subsidi listrik.

Di samping itu, dampak lingkungan listrik panas bumi juga relatif kecil jika dibandingkan dengan jenis pembangkit yang lain. Bahkan, sebagai salah satu sumber energi yang rendah karbon, panas bumi memiliki peluang untuk mendapatkan dana pembiayaan proyek melalui Clean Development Mechanism (CDM).

Bagi Indonesia, panas bumi sebenarnya bukan barang baru. PLTP Kamojang yang merupakan PLTP komersial pertama di Indonesia sudah mulai beroperasi sejak seperempat abad yang lalu, tepatnya tanggal 1 Februari 1983. Namun, selama ini pengembangan energi panas bumi belum bisa dikatakan memuaskan. Terbukti hingga kini baru empat persen potensi yang berhasil dimanfaatkan. Dibandingkan Amerika Serikat, Filipina, dan Meksiko, pengembangan panas bumi di Indonesia masih jauh tertinggal.

Namun, hal penting yang perlu dicermati bagaimana blue print kebijakan tersebut akan dicapai dengan segala konsekuensi yang ada. Hal ini juga belum memperhitungkan kemungkinan terjadinya revisi target ataupun kebijakan akibat terjadinya pergantian kepemimpinan serta kemungkinan adanya tumpang tindih dengan hambatan dan kebijakan lainnya, contohnya birokrasi dan landasan hukum. Upaya untuk membangun ketahanan dan kedaulatan energi harus dibangun dengan suatu platform yang jelas, terukur, terkoordinasi, dan dapat dipertanggungjawabkan. Indonesia harus memiliki visi yang jelas dan tegas akan arah kebijakan energi nasional. Tantangan yang dihadapi oleh sektor energi akan semakin berat tidak hanya karena Indonesia sudah menjadi negara net importir minyak, tetapi juga karena tantangan dan kebutuhan ke depan untuk memberikan layanan energi yang bersih (clean energy) semakin besar.

Selain itu, pemerintah harus lebih fokus pada upaya peningkatan akses energi pada daerah - daerah yang terpencil sehingga nantinya ketahanan energi nasional juga berdampak positif bagi masyarakat dan generasi yang akan datang.

Ada Apa Dengan Pertanian Kita ?

Juara 1 Lomba Pemikiran Kritis Gebyar Pertanian IPB

Sebagai sebuah negara agraris yang diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa anugerah kekayaan alam yang melimpah, mestinya Indonesia menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Namun dalam kenyataannya sektor pertanian semakin ditinggalkan dan menjadi anak tiri dalam proses pembangunan bangsa. Share sektor pertanian terhadap PDB nasional menunjukkan angka yang semakin menurun, dari 15 persen pada tahun 2001 menjadi sekitar 13 persen pada tahun 2007. Ini dapat diakibatkan oleh karena produktivitas di sektor pertanian yang masih sangat rendah. Walaupun pertumbuhan dari sisi penawaran dari sektor pertanian jumlahnya terus meningkat dari 3,4% pada tahun 2006 menjadi 3,5% pada tahun 2007. Kenaikan jumlah pertumbuhan yang tidak terlalu signifikan ini menunjukkan bahwa sektor pertanian belum menjadi sektor yang diperhatikan secara serius oleh pemerintah.

Namun demikian sektor pertanian masih menanggung beban yang cukup berat dilihat dari besarnya penyerapan tenaga kerja. Hingga tahun 2006, dari total angkatan kerja sebanyak 93 juta jiwa, 41,4 juta diantaranya masih bergantung pada sektor pertanian (44,5 persen). Sementara itu sektor yang memiliki pertumbuhan lebih tinggi dari sektor pertanian dan berkontribusi cukup besar terhadap PDB (sektor industri – dengan share terhadap PDB hampir 30 persen) ternyata hanya mampu menyerap sekitar 12.5 persen dari angkatan kerja yang ada.

Kemiskinan dan Sumberdaya Manusia
Data Sakernas menunjukkan dari 58,1 juta tenaga kerja yang ada di pedesaan, 38,4 juta diantaranya bekerja di sektor pertanian (66 persen). Berdasarkan katagori formal dan informal, maka 93.5 persen dari tenaga kerja di sektor pertanian dikatagorikan sebagai pekerja informal dan hanya 6,5 persen yang memiliki kategori formal (Sakernas 2006). Tingginya jumlah tenaga kerja yang bergantung pada sektor pertanian tidak berarti bahwa sektor ini mampu menyejahterakan pelaku-pelaku yang terlibat didalamnya. Hal ini dapat ditunjukkan dari indikator angka kemiskinan di pedesaan. Meskipun sempat mengalami penurunan pada periode akhir 70-an hingga tahun 90-an, namun jumlah penduduk miskin ini kembali meningkat pada periode 2004-2006. Mayoritas penduduk miskin tersebut berada di pedesaan dengan pekerjaan utama di sektor pertanian. Pertanyaan penting dari fenomena tersebut adalah : apakah pertanian identik dengan kemiskinan atau pemerintah gagal mewujudkan tujuan utama pembangunan ekonomi khususnya di pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani?

Pendidikan
Persentase tenaga kerja di sektor pertanian dengan tingkat pendidikan SLTA ke atas hanya 6 persen, sedangkan 77 persen hanya berpendidikan SD ke bawah. Dibandingkan dengan sektor lainnya, SDM sektor pertanian jauh tertinggal. Sebagai pembanding, untuk sektor industri persentase pekerja dengan tingkat pendidikan sedang (SLTA) mencapai 31.3 persen, sedangkan di sektor jasa sebesar 34 persen (Bappenas). Hal ini menyiratkan semakin tertinggalnya sektor pertanian dibandingkan dengan sektor lainnya.

Penguasaan Lahan
Input penting lainnya yang sangat mempengaruhi aktivitas pertanian adalah penguasaan lahan. Jumlah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0.5 ha selama kurun waktu 10 tahun (1993 – 2003) meningkat cukup tajam. Dari 10.7 juta RT petani menjadi 13.2 juta RT. Fenomena petani gurem ini jamak dijumpai di Jawa, hampir 75 persen dari total petani gurem. Kondisi yang lebih memprihatinkan adalah bahwa diantara petani-petani gurem tersebut mayoritas adalah mereka yang mengusahakan tanaman pangan. Implikasi lanjutan dari situasi tersebut adalah terhadap aspek kesejahteraan, produktivitas dan secara lebih luas lagi rawannya ketahanan pangan nasional.

Infrastruktur
Kajian mendalam yang dilakukan pada beberapa negara menujukkan bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara keberhasilan pembangunan infrastruktur di pedesaan dengan pembangunan pertanian. Lebih spesifik lagi, infrastruktur yang dimaksudkan mencakup fasilitas irigasi, listrik dan jalan raya. Potret lain yang dilakukan oleh mengenai pengaruh infrastruktur jalan terhadap pengurangan kemiskinan di pedesaan Indonesia sangat nyata. Keberadaan infrastruktur yang baik mendorong berkembangnya moda-moda produksi serta proses distribusi dari input pertanian serta output yang dihasilkan. Secara prinsip hal tersebut akan mengurangi biaya transaksi yang terjadi untuk memperoleh akses barang dan jasa serta informasi yang diperlukan.
Lebih lanjut, dalam data departemen pertanian di tahun 2007 disebutkan bahwa hampir 17,4% dari seluruh jaringan irigasi pertanian dalam kondisi yang rusak ringan.

Kondisi infrastruktur yang ada masih belum mendukung kelancaran arus distribusi input dan output tersebut. Namun demikian cukup disayangkan bahwa ternyata Investasi Indonesia untuk infrastruktur sangat tidak memadai. Investasi infrastruktur menurun dari 5-6 persen dari PDB sebelum tahun 1997 menjadi kurang dari 1-2 persen dari PDB pada 2000, dan saat ini berada dalam kondisi stabil pada tingkat 3,4 persen dari PDB.

Berdasarkan data dan fakta yang dikemukakan di atas sudah sepantasnya untuk melakukan restropeksi diri bahwa sektor yang selama ini merupakan tulang punggung perekonomian bangsa dengan berbagai kontribusinya seolah-olah terlupakan. Oleh karena itu perubahan mutlak dilakukan. Perubahan harus dilakukan dengan syarat : (1) Bahwa sektor pertanian menjadi bagian integral dalam perekonomian Indonesia sehingga perubahan di sektor pertanian secara langsung berhubungan dengan peningkatan produktivitas perekonomian dan pertumbuhan ekonomi. (2) Petani sebagai pelaku utama di sektor pertanian harus memperoleh manfaat yang tinggi dari perubahan yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi. Kedua syarat tersebut tidak dapat ditawar untuk memperkuat sektor pertanian.