Minggu, 09 November 2008

Belajar dari Kemenangan Obama

Pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) telah berlalu dan memunculkan fenomena bersejarah yang memunculkan presiden dari kalangan kulit hitam pertama selama 252 tahun pemilihan presiden dan mencatatkan angka partisipasi pemilih tertinggi dalam sejarah pemilihan presiden di AS. Dialah Barack Husein Obama, seorang politikus partai Demokrat yang dengan visinya yang tajam akan pembaharuan AS dan semangatnya dalam mengajak masyarakat AS untuk perubahan yang lebih baik. Dengan usia yang relatif muda, 47 tahun, Obama telah berhasil untuk menduduki kursi AS-1 di negara adidaya tersebut. Sebuah prestasi yang patut kita apresiasi dan kita ambil pelajaran berharga dari peristiwa itu.
Bagi masyarakat Indonesia, nama Obama memiliki kenangan tersendiri secara emosional mengingat bahwa Obama pernah tinggal dan mencicipi pahit-manisnya hidup di Indonesia. Namun, apakah kita hanya bisa puas dengan fakta sejarah bahwa seorang presiden negara adidaya pernah tinggal di negeri ini? Harus ada manfaat dan pelajaran yang patut kita ambil dari seorang Obama.
Pelajaran pertama adalah Sistem kaderisasi untuk menghasilkan orang-orang baru yang mumpuni di partai-partai politik di AS berjalan sangat baik, nama Obama telah muncul di Konvensi Partai Demokrat tahun 2004, artinya memang Obama telah dipersiapkan secara intensif untuk maju dalam pilpres tahun 2008 tersebut. Berbeda dengan Indonesia yang kemungkinan besar akan menjalakan pemilihan presiden dengan “muka-muka lama” yang masih bercokol, artinya sistem kaderisasi partai politik di Indonesia tidak berjalan efektif.
Pelajaran Kedua adalah di tengah permasalahan besar yakni krisis ekonomi yang sedang menimpa AS saat ini Obama mampu datang dengan harapan baru akan perubahan. Visi dan misinya yang luar biasa bahwa AS bisa keluar dari krisis telah secara signifikan mempengaruhi konstituen AS. Lihatlah pidato Obama sesaat setelah berhasil memenangkan pemilihan presiden AS, pada saat itu Obama mengatakan Change has come to Amerika ! Sebuah kalimat yang membangkitkan kembali optimisme masyarakat setelah ditimpa resesi yang dalam. Fakta menunjukkan bahwa akibat krisis ekonomi, 240.000 lapangan kerja hilang sampai dengan bulan Oktober 2008, 651.000 orang kehilangan pekerjaannya, dan tingkat pengangguran meningkat ke level tertinggi sejak 1994, yakni 6,5%, belum lagi masalah Irak yang memakan anggaran US$ 145 miliar per tahun. Sebuah pekerjaan yang amat berat bagi seorang presiden baru.
Kalau kita tarik dalam perspektif Indonesia, nampaknya apa yang dirasakan masyarakat di AS jauh lebih dahulu dirasakan oleh masyarakat Indonesia, namun tampaknya mereka yang pernah duduk di kursi empuk negeri ini tak pernah mengakui kegagalannya dalam mengatasi persoalan bangsa ini. Peristiwa yang aneh memang, tetapi yang terjadi memanglah demikian, mengingat bahwa mayoritas konstituen bangsa ini tak seperti konstituen AS yang kritis, jeli, dan peduli akan kondisi bangsanya. Jadi, sangatlah wajar kalau pemilihan umum tahun depan akan didominasi muka lama mengingat Undang-undang Pilpres yang mengisyaratkan seorang capres harus didukung oleh 25% suara parlemen.
Akhirya, pemimpin sejati ialah pemimpin yang dilahirkan dan muncul ketika permasalahan sebuah bangsa sedang gawat, yang memang peduli dan mau berbagi penderitaan dengan rakyatnya. Kemenangan Obama telah menginspirasi dunia dan memberikan spirit khususnya bagi pemimpin Indonesia untuk membawa negeri ini melangkah lebih jauh dan mengembalikan kejayaan setelah masa transisi ini berlalu. Semoga.

Kamis, 23 Oktober 2008

Kapitalisme Ekonomi Syariah ?

Dekade ini boleh jadi periode keemasan bagi ekonomi syariah, terutama di Indonesia. Sejak tahun 2000 silam tak kurang 50 lembaga ekonomi berbasis syariah tumbuh dengan suburnya. Hal ini sangat wajar mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Sayangnya, di tengah gemebyar syariah, terselip berbagai kelemahan dan penyimpangan. Apalagi disinyalir lebih dari 80% dari lembaga yang ada belum mampu menjalankan prinsip-prinsip syariah secara utuh.
Kesalahan pertama adalah produk-produk syariah yang dipasarkan justru didominasi oleh produk-produk konsumsi. Murabahah, atau jual beli, entah itu berbentuk KPR, kredit kendaraan, dan sebagainya mendominasi tak kurang dari 70% produk syariah yang ada. Tak beda dengan kredit konsumsi tradisional. Hanya saja elemen bunga disamarkan dengan elemen biaya dan marjin profit. Mestinya, kalau mau fair, produk-produk lain seperti mudharabah, musyarakah, isthisma’, juga tak kalah gencarnya dipasarkan.
Dalam beberapa hal, masyarakat juga sering mengalami kesulitan dalam mengakses produk-produk syariah tersebut. Dengan persyaratan yang rumit serta birokrasi yang berbelit, lembaga syariah bergeser menjadi menara gading yang sulit dijangkau kaum grass root. Padahal, sejatinya, ekonomi syariah lahir untuk mewadahi kaum bawah tersebut.
Beberapa kalangan juga sering mengkritisi sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pembentukan dan penunjukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Seringkali lembaga-lembaga tersebut dicap sebagai produk formalitas belaka mengingat standardisasi skill dan capabilities orang-orang didalamnya tidak jelas. Dewan yang diharapkan dapat berkomitmen penuh dalam mengawasi produk, konsep, kinerja, maupun policy lembaga syariah kinerjanya sering mengecewakan. Anggota-anggotanya yang masih didominasi kyai-kyai sepuh, dirasa kurang mampu mengikuti pergerakan dan perkembangan ekonomi syariah yang bergerak dengan sangat cepatnya.
Di lembaga syariah sendiri, penunjukan dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM) juga masih bias. Prinsip syariah, sejatinya membutuhkan 70% moral heavy, baru diikuti dengan knowledge dan appearance. Namun pada prakteknya, mereka justru dijejali hafalan-hafalan berbahasa arab dan diikutkan pelatihan instan. Terkadang etika bisnis dan konsep islami belum dikuasai secara komprehensif.
Celakanya, kekurangan-kekurangan ini makin diperburuk dengan sikap lembaga keuangan yang ada. Mereka memandang syariah semata-mata sebagai peluang pasar yang layak dimanfaatkan. Tindakan ini tentunya merupakan kejahatan ekonomi karena produk syariah menjadi alat para kapitalis untuk mengeduk untung sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya. Keberpihakan dan komitmen mereka terhadap kelangsungan dan perkembangan syariah itu sendiri masih patut dipertanyakan.
Lebih parah lagi, beberapa bank membuka divisi syariah hanya untuk nasabah privat yang memiliki dana tak kurang dari Rp 500 juta. Jika demikian, tentunya keberpihakan lembaga keuangan menjadi diskriminatif dan tak lagi berperan pada kelangsungan hidup kaum grass root. Kapitalisme, dalam hal ini, dibalut dengan simbol-simbol syariah untuk kepentingan pemilik modal.

Masih Relevankah Ekonomi Berdikari ?

Pada awal bangsa ini mulai berdiri, Presiden Soekarno pernah menyatakan agar bangsa ini terus berdiri tegak sejajar dengan bangsa lain yang dibutuhkan adalah tiga pusaka yang dikenal dengan trisakti. Salah satu yang menarik untuk dilihat adalah Ekonomi Berdikari. Kalau kita ingin berdaulat secara ekonomi maka kita harus mengembangkan ekonomi yang mengandalkan bangsa sendiri atau berdiri di atas kaki sendiri begitulah kira-kira pernyataan Bung Karno mengenai ekonomi berdikari. Cerita itu mulai kabur sejak pemerintahan Soekarno jatuh. Ekonomi berdikari dianggap kuno dan ditinggalkan, pengalaman empiriknya adalah ketika Soeharto berkuasa, minyak yang digunakan sebagai sumber energi dan sumber penerimaan utama negara waktu itu merupakan celah awal masuknya modal dan perusahaan asing. Perusahaan minyak asing pun tidak segan-segan menambah modal kerjanya secara besar-besaran masuk ke Indonesia.
Fenomena boom minyak tahun 1970an seolah menjadi semacam jaminan bagi modal yang mereka tanamkan di Indonesia ataupun yang diutangkan kepada pemerintah Indonesia. Sebagaian dari proyek asing tersebut memang berfungsi memperlancar operasi industri minyak di Indonesia, misalnya berkaitan dengan infrastruktur listrik (jalan, telekomunikasi, pembangkit listrik) dan nonfisik (ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan, kelancaran mekanisme perdagangan luar negeri dan modernisasi perbankan).
Jika cerita berhenti sampai di situ, maka kita bisa membayangkan suatu negara dengan perekonomian yang tumbuh pesat, kemudian rakyat yang menjadi semakin makmur dan sejahtera. Masuknya investasi asing akan membuka lapangan kerja baru yang luas dan kesempatan untuk transfer teknologi demi kemajuan bangsa di kemudian hari. Dengan utang luar negeri, kita bisa memulai proyek-proyek besar kita sendiri yang hasilnya nanti tidak hanya bisa dipakai untuk melunasi utang tetapi menyediakan generasi berikut suatu infrastruktur produksi yang handal, dengan perbaikan dunia pendidikan tinggi yang meskipun awalnya terkait dengan kebutuhan perusahaan (modal) asing, pada akhirnya tetap akan bermanfaat bagi bangsa sendiri.
Namun, itu semua hanya utopia belaka. Sampai dengan saat ini, kenyataan yang terjadi tidaklah seperti demikian, bangsa kita terus terpuruk dengan banyaknya modal asing yang masuk. Cardozo dalam teorinya mengatakan modal asing justru menimbulkan para kompador-komprador baru yang justru banyak merugikan bangsa sendiri.
Menolak modal asing sama sekali bukanlah hal yang bijak. Hal yang kita perlukan adalah bagaimana mencegah pengaruh modal asing tersebut tidak sampai mencabut kedaulatan ekonomi bangsa. Bangsa ini dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bukanlah ditakdirkan untuk menjadi budak bagi bangsa lain. Bangsa yang hanya menjadi tamu di negeri sendiri.
Dengan berbagai modal dan bantuan asing harusnya kita bisa belajar banyak dan tidak hanya sekadar menjadi boneka dari segala kepentingan asing yang dibalut dengan manisnya. Sehingga, cita-cita the Founding Father untuk menciptakan negara yang berdikari dapat terwujud.

Rabu, 16 Juli 2008

The domino effect

Many currencies that are backed by a current-account deficit are now falling just as the dollar has

ACCORDING to economic textbooks, the currencies of economies with large current-account deficits should depreciate relative to those of countries with surpluses. This will stimulate their exports and curb imports, thereby helping to slim the trade gaps. America has the world’s biggest current-account deficit and the dollar has dutifully been falling since 2002. Oddly, however, the currencies of many other countries with large deficits had enjoyed big gains until recently. Now, at last, currency markets have started to see sense.

Britain, Australia, New Zealand and Iceland all have large current-account deficits (along with many other American-style excesses, such as housing and credit booms). Yet over several years until mid-2007, their currencies perversely rose relative to those of economies, such as Japan and Switzerland, with big surpluses. For example, despite a current-account surplus of 4.9% of GDP last year, one of the biggest of any developed economy, Japan’s trade-weighted exchange rate sank by 13% from the end of 2002 to mid-2007. New Zealand, where the deficit reached 8% of GDP (bigger than America’s deficit of 6% of GDP at its peak), saw its currency gain 28% over the same period.

This paradox is the result of the “carry trade”, a popular currency strategy that partly explains why trade flows are now dwarfed by cross-border capital flows. In a world of low interest rates, international investors were hungry for yield, and so piled into currencies that offered higher interest rates, namely those of Britain, Australia, New Zealand and Iceland, as well as many emerging markets. Those higher interest rates paid by countries with large external deficits were supposed to compensate investors for the risk of currency depreciation. But as investors borrowed in low-interest currencies, such as the yen, to invest in high-yielding ones, this made the latter currencies stronger. That, in turn, prolonged global imbalances by making it easier for profligate countries to finance their current-account deficits.

But since the eruption of global financial turmoil last year and the dwindling appetite for risk, carry trades have started to unwind and it has become harder to finance deficits. As a result, current-account imbalances are once again exerting a powerful influence over currencies. The chart shows that the weakest currencies this year have been in countries with deficits, from Britain to South Africa. In contrast, the yen and the Swiss franc have perked up. The same chart a year or so ago would have shown virtually the opposite relationship.

Increased concern about current-account deficits is also causing investors to discriminate much more between emerging markets. A popular argument in recent years has been that developing economies are less risky because, unlike a decade ago, they are no longer dependent on foreign capital. It is true that emerging economies are forecast to have a combined current-account surplus of more than $800 billion this year, but this is more than accounted for by China, Russia and the Gulf oil exporters. In fact over half of the 25 biggest emerging economies now have deficits. South Korea is running a deficit after a decade of surpluses. Brazil has also moved back into the red, despite record high prices for its commodity exports. Others such as India, South Africa and Turkey have had external deficits for many years.

Sticking to our “mercantilist” guns

In an article last November, The Economist ranked 15 of the biggest emerging economies according to their economic riskiness. Based on the size of external and budget deficits, inflation rates and the pace of growth in bank lending, India, Turkey and Hungary were deemed to be most vulnerable. The ranking attracted a lot of flak in India. An article in the Times of India accused The Economist of “mercantilist thinking at its worst” by treating a current-account surplus as good, a deficit bad. Agreed, a current-account deficit is not necessarily bad: an economy may be borrowing from abroad to finance investment that will lift future growth. Nevertheless, a large deficit does mean that an economy and its currency may struggle if foreign-capital inflows suddenly dry up.

And this is what has happened. This year foreign capital has gone into reverse at the same time as India’s current-account deficit has widened sharply. Sharmila Whelan, an economist at CLSA, a brokerage firm, forecasts that India’s current-account deficit will rise to almost 4% of GDP in the current fiscal year, and to 5.5% next year. Not only is the trade deficit soaring, largely as a result of higher oil prices; the overseas earnings of Indian IT services companies (two-fifths of which come from the financial sector) are likely to shrink this year.

The nature of the capital inflows financing a deficit also matters. Foreign direct investment (FDI) is less volatile than speculative capital inflows. If we assume that net FDI continues at last year’s pace, then it would more than finance the expected current-account deficits in Brazil and Mexico this year. In contrast, net FDI might finance less than one-third of India’s deficit and only one-sixth of South Africa’s, implying that their currencies are more at risk. The rupee has fallen by almost 10% against the dollar since late last year. Ms Whelan forecasts that it will drop by another 9% by March 2009.

Central banks in the developing world are now worried that falling currencies will exacerbate inflationary pressures. A year ago most emerging economies were intervening heavily to hold their currencies down; now many in Asia, including India, South Korea, Vietnam and Thailand, are having to sell dollars to prop their exchange rates up. The prime exception is China, where hot money continues to pour in and where the current account has a massive surplus.

The longer that international investors remain risk-averse, the more attention they are likely to pay to current-account imbalances. A few currencies seem to have been overlooked: those of Australia, Poland and Hungary have so far held up surprisingly well, despite their gaping external deficits. All three now look overvalued. They could be the next dominoes to fall.

Rabu, 04 Juni 2008

Doha Dilemma

Does freer farm trade help poor people?

THE global food crisis has shone a harsh spotlight on the consequences of government meddling in agriculture. Poor people go hungry, in part, because Americans pay their farmers to divert crops from food to fuel. But in at least two areas, the crisis has emboldened those who are sceptical of free markets in food.

The first is “food security”. Politicians in rich and poor countries have seized on recent price spikes as proof that free farm trade is a risky business and self-sufficiency a worthy goal. The second area concerns the poor. For years reformers have advocated freer trade on the grounds that market distortions, particularly the rich world's subsidies, depress prices and hurt rural areas in poor countries, where three-quarters of the world's indigent live. The Doha round of trade talks is dubbed the “development round” in large part because of its focus on farms. But now high food prices are being blamed for hurting the poor (the topic of a big United Nations summit in Rome starting on June 3rd).

The argument for self-sufficiency is easiest to counter. Anyone who believes autarky is the route to food security should look at starving North Korea. In world markets trade barriers, not the lack of them, have exacerbated the mess. The commodities that have seen the biggest price spikes are those which tend to be traded least. Only 6% of global rice production, for instance, flows across borders. Unilateral export restrictions, such as those imposed by Vietnam and India, have made matters worse. Global supply is disrupted and domestic farmers discouraged from producing more. The route to deeper, less volatile markets lies through freer trade and fewer distortions. The notion that free trade precludes food security is plainly wrong-headed.

The links between trade, food prices and poverty reduction are more subtle. Different types of reform have diverse effects on prices. When countries cut their tariffs on farm goods, their consumers pay lower prices. In contrast, when farm subsidies are slashed, world food prices rise. The lavishness of farm subsidies means that the net effect of fully freeing trade would be to raise prices, by an average of 5.5% for primary farm products and 1.3% for processed goods, according to the World Bank.

These effects are still much smaller than recent food-price spikes, but would they, on balance, help or hurt the poor? In crude terms, food-exporting countries gain in the short term whereas net importers lose. Farmers are better off; those who buy their food fare worse. Although most of the world's poor live in rural areas, they are not, by and large, net food sellers. A forthcoming study* of nine poor countries by M. Ataman Aksoy and Aylin Isik-Dikmelik, two economists at the World Bank, shows that even in very rural countries, such as Bangladesh and Zambia, only one-fifth of households sell more food than they buy. That suggests the losers may outnumber winners.

But things are not so simple. The authors point out that net food buyers tend to be richer than net sellers, so high food prices, on average, transfer income from richer to poorer households. And prices are not the only route through which poverty is affected. Higher farm income boosts demand for rural labour, increasing wages for landless peasants and others who buy rather than grow their food. Several studies show this income effect can outweigh the initial price effect. Finally, the farm sector itself can grow. Decades of underinvestment in agriculture have left many poor countries reliant on imports: over time that can change.

The World Bank has often argued that the balance of all these factors is likely to be positive. Although freer farm trade—and higher prices—may raise poverty rates in some countries, it will reduce them in more. One much-cited piece of evidence is a study† by Thomas Hertel, Roman Keeney, Maros Ivanic and Alan Winters. This analysis simulated the effect of getting rid of all subsidies and barriers on global prices and trade volumes. It then mapped these results on to detailed household statistics in 15 countries, which between them covered 1 billion people. Fully free trade in farm goods would reduce poverty in 13 countries while raising it in two.

A question of numbers
But lately the bank seems to be taking a different line. Robert Zoellick, the bank's president, claims that the food-price crisis will throw 100m people below the poverty line, undoing seven years of progress. His figure comes from extrapolating the results of a different study** by Mr Ivanic and Will Martin, another World Bank economist. This study analyses the effects of more expensive staple foods on poverty by examining household surveys in nine countries. In seven cases, higher food prices meant more poverty. (Dani Rodrik, a blogging Harvard economist, was one of the first to highlight the tension between these studies.)

In fact, the bank's results are not as contradictory as they seem. The two studies are based on different sets of countries: only Peru, Zambia and Vietnam appear in both. And the gloomy analysis measures only the effect of pricier staple foods, whereas the other examines freer trade in all farm goods. Such trade brings broader benefits: even if higher prices for staples exacerbate poverty in some countries, at least in the short term, the effect may be outweighed by increased demand for other farm exports, such as processed goods, as rich countries cut tariffs.

These subtleties suggest two conclusions. First, the bank, and others, should beware sweeping generalisations about the impact of food prices on the poor. Second, the nature of trade reform matters. Removing rich-country subsidies on staple goods, the focus of much debate in the Doha round, may be less useful in the fight against poverty than cutting tariffs would be. The food-price crisis has not hurt the case for freer farm trade. But it has shown how important it is to get it right.

Selasa, 03 Juni 2008

The New Face of Hunger

Global food shortages have taken everyone by surprise. What is to be done?



SAMAKE BAKARY sells rice from wooden basins at Abobote market in the northern suburbs of Abidjan in Côte d'Ivoire. He points to a bowl of broken Thai rice which, at 400 CFA francs (roughly $1) per kilogram, is the most popular variety. On a good day he used to sell 150 kilos. Now he is lucky to sell half that. “People ask the price and go away without buying anything,” he complains. In early April they went away and rioted: two days of violence persuaded the government to postpone planned elections.
“World agriculture has entered a new, unsustainable and politically risky period,” says Joachim von Braun, the head of the International Food Policy Research Institute (IFPRI) in Washington, DC. To prove it, food riots have erupted in countries all along the equator. In Haiti, protesters chanting “We're hungry” forced the prime minister to resign; 24 people were killed in riots in Cameroon; Egypt's president ordered the army to start baking bread; the Philippines made hoarding rice punishable by life imprisonment. “It's an explosive situation and threatens political stability,” worries Jean-Louis Billon, president of Côte d'Ivoire's chamber of commerce.
Last year wheat prices rose 77% and rice 16% (see chart 1). These were some of the sharpest rises in food prices ever. But this year the speed of change has accelerated. Since January, rice prices have soared 141%; the price of one variety of wheat shot up 25% in a day. Some 40km outside Abidjan, Mariam Kone, who grows sweet potatoes, okra and maize but feeds her family on imported rice, laments: “Rice is very expensive, but we don't know why.”
The prices mainly reflect changes in demand—not problems of supply, such as harvest failure. The changes include the gentle upward pressure from people in China and India eating more grain and meat as they grow rich and the sudden, voracious appetites of western biofuels programmes, which convert cereals into fuel. This year the share of the maize (corn) crop going into ethanol in America has risen and the European Union is implementing its own biofuels targets. To make matters worse, more febrile behaviour seems to be influencing markets: export quotas by large grain producers, rumours of panic-buying by grain importers, money from hedge funds looking for new markets.
Such shifts have not been matched by comparable changes on the farm. This is partly because they cannot be: farmers always take a while to respond. It is also because governments have softened the impact of price rises on domestic markets, muffling the signals that would otherwise have encouraged farmers to grow more food. Of 58 countries whose reactions are tracked by the World Bank, 48 have imposed price controls, consumer subsidies, export restrictions or lower tariffs.


But the food scare of 2008, severe as it is, is only a symptom of a broader problem. The surge in food prices has ended 30 years in which food was cheap, farming was subsidised in rich countries and international food markets were wildly distorted. Eventually, no doubt, farmers will respond to higher prices by growing more and a new equilibrium will be established. If all goes well, food will be affordable again without the subsidies, dumping and distortions of the earlier period. But at the moment, agriculture has been caught in limbo. The era of cheap food is over. The transition to a new equilibrium is proving costlier, more prolonged and much more painful than anyone had expected.
“We are the canary in the mine,” says Josette Sheeran, the head of the UN's World Food Programme, the largest distributor of food aid. Usually, a food crisis is clear and localised. The harvest fails, often because of war or strife, and the burden in the affected region falls heavily on the poorest. This crisis is different. It is occurring in many countries simultaneously, the first time that has happened since the early 1970s. And it is affecting people not usually hit by famines. “For the middle classes,” says Ms Sheeran, “it means cutting out medical care. For those on $2 a day, it means cutting out meat and taking the children out of school. For those on $1 a day, it means cutting out meat and vegetables and eating only cereals. And for those on 50 cents a day, it means total disaster.” The poorest are selling their animals, tools, the tin roof over their heads—making recovery, when it comes, much harder.
Because the problem is not yet reflected in national statistics, its scale is hard to judge. The effect on the poor will depend on whether they are net buyers of food or net sellers for some net buyers, the price rises may be enough to turn them into sellers. But by almost any measure, the human suffering is likely to be vast. In El Salvador the poor are eating only half as much food as they were a year ago. Afghans are now spending half their income on food, up from a tenth in 2006.
On a conservative estimate, food-price rises may reduce the spending power of the urban poor and country people who buy their own food by 20% (in some regions, prices are rising by far more). Just over 1 billion people live on $1 a day, the benchmark of absolute poverty; 1.5 billion live on $1 to $2 a day. Bob Zoellick, the president of the World Bank, reckons that food inflation could push at least 100m people into poverty, wiping out all the gains the poorest billion have made during almost a decade of economic growth.
Small is fairly beautiful
In the short run, humanitarian aid, social-protection programmes and trade policies will determine how well the world copes with these problems. But in the medium term the question is different: where does the world get more food from? If the extra supplies come mainly from large farmers in America, Europe and other big producers, then the new equilibrium may end up looking much like the old one, with world food depending on a small number of suppliers and—possibly—trade distortions and food dumping. So far, farmers in rich countries have indeed responded. America's winter wheat plantings are up 4% and the spring-sown area is likely to rise more. The Food and Agriculture Organisation forecasts that the wheat harvest in the European Union will rise 13%.
Ideally, a big part of the supply response would come from the world's 450m smallholders in developing countries, people who farm just a few acres. There are three reasons why this would be desirable. First, it would reduce poverty: three-quarters of those making do on $1 a day live in the countryside and depend on the health of smallholder farming. Next, it might help the environment: those smallholders manage a disproportionate share of the world's water and vegetation cover, so raising their productivity on existing land would be environmentally friendlier than cutting down the rainforest. And it should be efficient: in terms of returns on investment, it would be easier to boost grain yields in Africa from two tonnes per hectare to four than it would be to raise yields in Europe from eight tonnes to ten. The opportunities are greater and the law of diminishing returns has not set in.
Unfortunately, no smallholder bonanza is yet happening. In parts of east Africa, farmers are cutting back on the area planted, mostly because they cannot afford fertilisers (driven by oil, fertiliser prices have soared, too). This reaction is not universal. India is forecasting a record cereal harvest; South African planting is up 8% this year. Still, some anecdotal evidence, plus the general increase in food prices, suggests that smallholders are not responding enough. “In a perfect world,” says a recent IFPRI report, “the response to higher prices is higher output. In the real world, however, this isn't always the case.” Farming in emerging markets is riddled with market failures and does not react to price signals as other businesses do.
This is true to a certain extent of farming in general. If you own a toy factory, or an oilfield, and the price of toys or oil rises, you run the factory night and day, or turn the taps full on. But it always takes a season to grow more food, which is why farm prices everywhere tend to be “sticky”: a 10% increase in prices leads to a 1% increase in output. But the food crisis of 2008 suggests farm prices in developing countries may be stickier than that.
The quickest way to increase your crop is to plant more. But in the short run there is only a limited amount of fallow land easily available. (The substantial unused acreage in Brazil and Russia will take a decade or so to get ready.) For some crops—notably rice in East Asia—the amount of good, productive land is actually falling, buried under the concrete of expanding cities. In other words, food increases now need to come mainly from higher yields.
Yields cannot be switched on and off like a tap. Spreading extra fertiliser or buying new machinery helps. But higher yields also need better irrigation and fancier seeds. The time lag between dreaming up a new seed and growing it commercially in the field is ten to 15 years, says Bob Zeigler of the International Rice Research Institute (IRRI) in the Philippines. Even if a farmer wanted to plant something more productive this year, and could afford to, he could not—unless research work had been going on for years.
It has not. Most agricultural research in developing countries is financed by governments. In the 1980s, governments started to reduce green-revolutionary spending, either out of complacency (believing the problem of food had been licked), or because they preferred to involve the private sector. But many of the private firms brought in to replace state researchers turned out to be rent-seeking monopolists. And in the 1980s and 1990s huge farm surpluses from the rich world were being dumped on markets, depressing prices and returns on investment. Spending on farming as a share of total public spending in developing countries fell by half between 1980 and 2004.
This decline has had a slow, inevitable impact. Creating a new seed is a bit like designing a flu vaccine: you need to keep updating it, or pests and disease will negate its effectiveness. When the rice variety IR8 was introduced in 1966, it produced almost ten tonnes per hectare; now it yields barely seven. In developing countries between the 1960s and 1980s, yields of the main cereal crops increased by 3-6% a year. Now annual growth is down to 1-2%, below the increase in demand (see chart 2). “We're paying the price for 15 years of neglect,” says Mr Zeigler.
Alterations in the structure of farming have exacerbated the effects of underinvestment. Farming is just one part of a food chain that stretches from fertiliser and seed companies at one end to supermarkets at the other. In the past, the end of the chain nearest consumers was less important. Food policy meant improving links between farmers and suppliers. The Green Revolution of the 1960s, for example, provided new seeds and subsidised fertilisers. Malawi is doing something similar now. But over the past decade, the other end of the chain has come to matter more. The main reason why Kenyan and Ethiopian farmers planted less this year was not just that fertilisers were expensive, but that farmers could not get credit to finance purchases. Supermarkets are also more important to farmers than they used to be, accounting for half or more of food sales, even in many developing countries.
Success in patches
In theory, the growing importance of traders and supermarkets ought to make farmers more responsive to changes in prices and consumer tastes. In some places, that is the case. But supermarkets need uniform quality, minimum large quantities and high standards of hygiene, which the average smallholder in a poor country is ill equipped to provide. So traders and supermarkets may benefit commercial farmers more than smallholders.
To make matters worse, smallholdings are fragmenting in many countries. Because of population growth and the loss of farmland, the average farm size in China and Bangladesh has fallen from about 1.5 hectares in the 1970s to barely 0.5 hectares now; in Ethiopia and Malawi, it fell from 1.2 hectares to 0.8 in the 1990s. By and large, the smaller the farm, the greater the burden of the cost of doing business with big retailers. Smaller smallholders are also at a disadvantage in getting loans, new seeds and other innovations on which higher yields depend.
ReutersA burden to afford
Such bottlenecks and market failures make it harder for smallholders to respond to higher prices, even without the multiple distortions that governments also introduce into world food markets. They mean the transition to a new equilibrium will be prolonged and painful. But they do not mean it will not happen. Lennart Båge, the head of the International Fund for Agricultural Development, a UN agency in Rome, argues that if farmers can keep the higher prices, they will overcome the problems that beset them. As he points out, India feeds 17% of the world's people on less than 5% of the world's water and 3% of its farmland—and, along with China, is seeing its cereal crop rise this year. Similar success stories are cropping up, in patches.
Despite East Africa's problems, Ethiopia this week opened its own commodity exchange, a rare thing on the continent, in an attempt to improve the markets that connect farmers and traders. The spread of mobile phones also relays market information more widely. In landlocked Malawi, it costs almost as much to ship maize to and from world markets as it does to grow it locally, so Malawian farmers have found it hard to export their surplus even with prices high. But partly because of the political disaster of Zimbabwe, regional markets are now springing up out of nowhere in southern Africa—and Malawi's farmers are selling there.
Moreover, technological improvements are still pushing through the neglected soil. Mr Zeigler reckons IRRI has enough tinkerings in the pipeline to increase yields by one or two tonnes a hectare. And if European countries relax their hostility to genetically modified organisms, crop scientists could do things—such as redesigning photosynthesis in plants—which could boost yields 50% or more.
Between November 2007 and February 2008, rice exports from Thailand (the world's biggest exporter) were running at 1m tonnes a month—an unprecedented bonanza. But for even for producers and traders, the blessing was mixed. Some farmers sold their crop before prices soared. Millers tried to keep supplies back, waiting for higher prices. The government capped exports below last year's levels. The secretary-general of the Thai rice exporters' association told IRRI that “We don't know where the 2007 harvest is.” Vichai Sriprasert, a big exporter, describes the Thai rice market using language that, elsewhere, is literally true. “This is a crucial time,” he says. “It will tell the story of who will survive and who will not survive.”

Selasa, 20 Mei 2008

Revolusi Keuangan Mikro

Saat ini keuangan mikro telah menjadi pembicaraan luas. Di tingkat global, PBB menjadikan keuangan mikro sebagai salah satu strategi yang diyakini mampu memberikan konstribusi pada pengurangan jumlah penduduk miskin. Hal ini sejalan dengan upaya PBB untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dunia menjadi setengahnya pada tahun 2015 sebagai mana tercantum dalam program Millenium Development Goals (MDGs). Melalui keuangan mikro, penduduk miskin dan pengusaha mikro diberi akses untuk melakukan berbagai aktivitas keuangan, baik akses pembiayaan maupun jasa keuangan lainnya, yang memungkinkan mereka dapat melakukan kegiatan produktif dan mengembangkan usahanya.

Buku Marguerite S. Robinson “Revolusi Keuangan Mikro: Pelajaran dari Indonesia”, setidaknya memiliki konstribusi besar pada pengembangan keuangan mikro di tingkat global. Robinson mengungkapkan kepada dunia bahwa telah terjadi pergeseran besar dalam pelayanan keuangan mikro. Pelayanan jasa keuangan mikro yang mampu menyediakan kepastian sumber pembiayaan berkelanjutan kepada usaha mikro adalah keuangan mikro yang komersial. Dengan kata lain, kebijakan protektif dan subsidi bunga kredit kepada UMKM melalui lembaga keuangan mikro perlu dihindari karena hanya menimbulkan moral hazart yang akan menggangu kelangsungan institusional. Robinson ingin menyampaikan bahwa kebijakan distortif dan protektif hanya akan menciptakan inefisiensi dan hanya melahirkan pemburu rente, baik dari pengusaha kecil atau kelompok orang yang mengambil manfaat dari usaha kecil. Dalam kasus Indonesia, BRI Unit justru berhasil pada era dimana lembaga keuangan mikro tersebut harus survive saat penyaluran kredit bersubsidi dihapuskan. Justru pada era komersialisasi kredit mikro itulah BRI Unit menjadi penopang profitabilitas BRI secara keseluruhan.

Argumentasi yang disampaikan atas dasar pengamatan yang dilakukannya secara bertahun-tahun membuktikan bahwa penyaluran dana secara komersial akan mendorong interaksi dan menumbuhkan pola kemitraan untuk saling menjaga. Dari proses tersebut akan terjalin ikatan emosional untuk saling membutuhkan dan dalam jangka panjang akan tercipta suatu simbiosa yang saling menguntungkan. Dengan memahami logika tersebut, paradigma kita dalam memandang sektor mikro ini akan mengalami perubahan secara mendasar, dari sekadar mengurangi kemiskinan dengan subsidi kredit, menuju suatu arah pembiayaan mikro komersial yang berkelanjutan (sustainable commercial microfinance).

Robinson seolah memberikan inspirasi bagi pelaku perbankan untuk melakukan reorientasi bisnisnya kepada ektor mikro dan kecil. Di Indonesia sendiri sejak beberapa tahun terakhir, perbankan nasional telah menetapkan rencana dan strategi yang lebih ekspansif, guna menggali potensi dan kemajuan sektor UMKM. Kedepan, trend pembiayaan pada sektor ini diperkirakan akan terus meningkat. Untuk tahun 2005 ini, sesuai rencana bisnisnya, perbankan memproyeksikan akan menyalurkan kredit baru kepada sektor UMKM sebesar Rp 60,4 triliun. Hal ini menunjukkan keyakinan perbankan bahwa pasar pembiayaan di sektor ini masih belum jenuh. Diperkirakan perbankan masih akan menjadikan sektor UMKM sebagai salah satu segmen pasar yang cukup menjanjikan.

Ekspansifnya penetrasi perbankan ke UMKM akhir-akhir ini berimplikasi pada ketatnya persaingan baik antar-bank maupun gesekan antara bank umum dengan BPR dalam memperebutkan segmen UMKM ini. Iklim persaingan ini diperkirakan akan semakin tajam di masa mendatang. Fenomena ini pada gilirannya akan memberikan implikasi yang harus disikapi dengan arif dan bijak, serta dapat ditempatkan dalam konteks yang lebih luas. Di satu sisi, situasi ini akan memberikan dampak positif ke sektor UMKM dengan semakin terbukanya akses kepada lembaga keuangan. Selain itu, UMKM juga mendapat kesempatan untuk memperoleh variasi skim pembiayaan yang menguntungkan dengan kualitas pelayanan yang semakin baik serta tingkat bunga kredit yan bersaing. Hal yang harus dicatat adalah bahwa sektor ini harus berbenah agar lebih bankable.

Bagi industri perbankan sendiri, adanya iklim persaingan yang sehat akan membawa industri perbankan bergerak ke tingkat efisiensi yang lebih optimal, dimana setiap bank akan berupaya mengenali comparative dan competitive edvantages yang dimilikinya agar dapat terus survive dan berkembang. Dengan demikian setiap bank akan memiliki kekuatan masing-masing sesuai segmen pasar yang dikuasainya, tanpa harus terjadi kekhawatiran akan adanya persaingan yang tidak sehat.

Adanya perhatian yang besar dari industri perbankan kepada sektor UMKM tersebut diharapkan tidak semata-mata hanya karena alasan komersial, namun juga merupakan perwujudan tanggung jawab sosial dari industri perbankan tersebut. Kemampuan dalam memberikan pelayanan, termasuk upaya pembinaan UMKM merupakan aspek kunci keberhasilan operasional suatu bank. Robinson telah memberikan gambaran yang jelas bahwa faktor keberhasilan dari BRI Unit antara lain karena terjadinya ikatan emosional dengan nasabah. Hubungan mutualisme melalui kedekatan antara bank dengan nasabahnya, baik secara komersial maupun emosional merupakan unsur daya saing tersendiri. Kondisi ini akan sangat membantu dalam membuat keputusan bisnis seperti: pengecualian agunan, fleksibelitas jangka waktu kredit dan pembayaran, proses peremajaan alat produksi, dan sebagainya. Peningkatan kapabilitas ini akan dapat meningkatkan ketahanan dan menjamin income sustainability dari pengusaha UMKM sehingga pembiayaan dapat berkesinambungan dan pengembalian kredit akan lebih terjamin. Selain itu, pemberdayaan UMKM dari jalur non-finansial melalui pendampingan dan konsultasi diarahkan untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia UMKM, sehingga lebih produktif dan pada gilirannya mampu memperbaiki kinerja finansial.

Akhirnya, perlu disadari bahwa setiap tahapan pengembangan, baik lembaga keuangan mikro maupun pemberdayaan UMKM pasti akan menemui berbagai tantangan baru. Maraknya perkembangan keuangan mikro dan semakin luasnya akses UMKM terhadap sektor finansial tidak akan serta merta menyelesaikan masalah kemiskinan dan pengangguran. Namun disadari bahwa tanpa kerja keras dan sinergi kedua sektor tersebut akan sangat sulit bagi bangsa Indonesia untuk menciptakan ekonomi nasional yang berbasis kerakyatan dan memiliki daya tahan yang tinggi terhadap setiap guncangan. Pemberdayaan UMKM diharapkan tidak hanya mampu mengurangi kemiskinan namun juga dapat menciptakan kesempatan kerja dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebagaimana dicita-citakan.



*) Tulisan ini disarikan dari sambutan Deputi Gubernur BI, Maulana Ibrahim, pada Seminar dan Bedah Buku “Revolusi Keuangan Mikro: Pelajaran dari Indonesia”, karya Marguerite Robinson

UMKM Tahan Banting ?

Ketika harga BBM melejit naik tahun 2005, Sanin tak bisa lagi membayar sewa kontrakan rumahnya di Pondok Gede, Bekasi, karena pendapatannya dari hasil menjual sandal dan sepatu di pinggir jalan, merosot tajam. Memang secara teori tidak ada korelasi antara harga BBM dengan harga sandal dan sepatu, tetapi fakta di tingkat mikro hubungan itu ada. Kenaikan harga BBM berakibat pada kenaikan harga berbagai komoditas lain (cost-pushed inflation), sehingga masyarakat menjadi lebih selektif dalam berbalanja sesuai dengan prioritas untuk pemenuhan kebutuhan hidupannya. Dampaknya, masyarakat bawah yang biasa berbelanja di kaki lima, tidak lagi memprioritaskan sandal atau sepatu, karena sandal atau sepatu yang sudah butut pun masih bisa dipakai. Kalaupun ada kerusakan sedikit, masih bisa diperbaiki oleh tukang sol keliling yang biayanya relatif murah.

Kini, anak dan istri Sanin pulang ke Cilacap, sementara Sanin berpindah profesi menjadi kuli bangunan yang tinggal di bedeng sementara, sehingga bisa sedikit berhemat, karena tidak lagi harus membayar sewa rumah.
Cerita serupa juga menimpa Misno, pedagang bakso keliling asal Wonogiri, yang berkeliling di perumahan-perumahan sekitar Pondok Ungu, Bekasi. Kini ia harus banting stir menjadi tukang ojeg, setelah mencuatnya isue formalin dan daging tikus. Walaupun ia sudah berdagang bakso hampir lima tahun, namun menurunnya omset akibat isue itu membuatnya pasrah. Beruntunglah, selama hampir lima tahun ia berhasil mengumpulkan sebgian keuntungan untuk membeli sepeda motor, yang akhirnya ia gunakan untuk meng-ojek.
Yakinlah, kejadian ini hanyalah sebagian kecil dari kejadian serupa yang dialami para pelaku usaha mikro. Kejadian itu juga pasti akan berulang kembali, baik pada pelaku yang sama maupun pelaku lain, yang tidak teridentifikasi, ketika pemerintah tetap menaikan tarif dasar listrik (TDL), pemusnahan unggas untuk mengurangi penyebaran virus flu burung, dan sebagainya.
Belajar dari kejadian Sanin dan Misno, ternyata jelas bahwa usaha mikro tidak tahan banting, tetapi justru sebaliknya, usaha mereka sangat rentan (vulnerable) terhadap perubahan kondisi makro. Namun secara individu sebagai pelaku usaha, mereka memang memiliki mental yang sangat tangguh sebagai upaya untuk bertahan hidup (survival mode).
The Asian Foundation dan AKATIGA telah melakukan longitudinal survey (1999) tentang Dampak Krisis Eknomi terhadap UKM Indonesia.
Secara umum, hasil survey itu menunjukan bahwa tidak semua UMKM tahan terhadap krisis. Sebagai contoh, di Pulau Jawa sekitar 50 persen UMKM terpuruk, 16,7 persen justru memiliki kinerja lebih baik, dan sisanya 33,3 persen berkinerja tetap. Sedangkan untuk UMKM di luar Pulau Jawa, 50 persen justru lebih baik, dan 50 persen sisanya berkinerja tetap. UMKM di perdesaan yang memiliki kinerja lebih bagus ternyata lebih tinggi (44,4 persen) daripada di perkotaan (11,2 persen), sedangkan UMKM yang terpuruk di perdesaan lebih sedikit (22 persen) dibandingkan di perkotaan (44,4 persen). Dari sisi usaha, 78 persen UMKM sektor manufaktur terpuruk, sedangkan untuk UMKM sektor perdagangan, pertanian dan jasa yang terpuruk kurang dari 20 persen.
Fakta tersebut setidaknya dapat mengingatkan para pembuat kebijakan agar tidak melakukan generalisasi kondisi UMK hanya untuk kepentingan sesaat yang bersifat populis. Hal ini juga ditekankan oleh The Asia Foundation dan AKATIGA (1999) yang merekomendasikan pemerintah Indonesia agar tidak membuat kebijakan yang bersifat umum, karena hal itu akan sangat tidak efektif.

Dilema Kebijakan BBM : Pro APBN atau Pro Rakyat?


Belum lagi selesai masalah kelangkaan minyak tanah di kalangan masyarakat, masyarakat kembali dikejutkan dengan rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Hal ini tentunya disebabkan meroketnya harga minyak dunia mencapai US$127/barel, namun yang menjadi pertanyaan kemudian bagaimana bisa sebuah negara yang dikaruniai dengan sumberdaya minyak yang melimpah tetapi saat ini justru terkena “kutukan” dari kenaikan harga minyak itu sendiri?

Jika kita melihat dari aspek manajemen pengelolaan minyak negeri ini, rasanya jika pengelolaan minyak dilakukan dengan baik dan transaparan, windfall profit atau “keberkahan” yang justru akan kita terima dari kenaikan harga minyak tersebut. Tentunya, pemerintah sekali lagi harus mengevaluasi pada titik mana kesalahan manajemen pengelolaan minyak itu terjadi, sebab beberapa kali revisi APBN 2008, target lifting minyak yang telah ditetapkan oleh pemerintah selalu tak tercapai.

Presiden SBY dalam sebuah pernyataan di televisi menyatakan bahwa APBN kita harus diselamatkan karena kenaikan harga minyak ini, begitu pula dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga mengatakan bahwa 80% dari subsidi BBM hanya dinikmati oleh orang kaya, sedangkan 20% yang dinikmati oleh orang miskin. Secara faktual memang dapat dibenarkan pernyataan kedua pemimpin negara tersebut, namun dilihat dalam konteks komunikasi politik yang dilakukan, hal ini terlihat sangat buruk.

Saat ini, dalam persepsi masyarakat muncul pemikiran bahwa pemerintah cenderung “egois” karena hanya ingin menyelamatkan APBN namun tidak memikirkan bagaimana pengaruh kenaikan harga minyak akan meningkatkan penderitaan pada masyarakat. Tentu, persepsi ini bukan hal yang baik jika memang kedua pemimpin tersebut ingin bertarung kembali memperebutkan kursi RI-1 pada Pemilu 2009.

Subsidi Tak Tepat Sasaran

Memang, jika kita melihat dari sisi keadilan, maka subsidi yang dilakukan pemerintah terhadap BBM tentunya sangat tidak tepat sasaran. Subsidi justru dinikmati 80% oleh orang kaya dan orang miskin hanya 20%. Tentu, dalam konteks pembangunan ekonomi sebuah bangsa hal ini kurang begitu baik. Sebab, hampir lebih dari 50% APBN hanya dibuang untuk subsidi BBM. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, sebenarnya subsidi memang harus dikurangi.

Selain itu, disparitas harga yang begitu tinggi dengan harga minyak di luar negeri juga menjadi salah satu indikator bahwa sebenarnya harga minyak dalam negeri relatif murah. Tak pelak memang hal ini menjadi salah satu faktor banyaknya kriminalitas di bidang distribusi BBM. Permasalahan seperti penyelundupan minyak ke luar negeri, penjualan minyak bersubsidi ke industri harusnya kita perlu kita herankan.

Namun, permasalahan kemudian adalah kenaikan harga BBM menimbulkan multiplayer effect yang besar untuk harga-harga komoditas lain. Data terakhir mencatat bahwa sampai dengan bulan April 2008 inflasi yang terjadi 8,96% meleset dari target pemerintah sebesar 4-6% (BI,2008). Dapat kita bayangkan ketika harga BBM dinaikkan maka dapat dipastikan bahwa inflasi akan meningkat. Sebelum kenaikan harga minyak terjadi saja, saat ini harga-harga komoditas telah meningkat 10-20%.

Jika kita berbicara tentang kemiskinan maka sudah dapat dipastikan jumlah kemiskinan kembali akan meningkat dengan adanya kebijakan tersebut. Data terakhir mencatat 16% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan, karakteristik orang miskin di Indonesia berkorelasi positif dan sangat sensitif dengan kenaikan harga barang-barang pokok (Worldbank, 2008). Untuk mengembalikan dan menyesuaikan kondisi akibat Policy Shock kenaikan harga BBM lebih dari 100% tahun 2005 saja, rata-rata masyarakat miskin membutuhkan waktu 2 tahun.

Bantuan Langsung Tunai Bergulir Lagi

Di tengah gelombang protes akan rencana pemerintah menaikkan harga BBM, pemerintah kembali berencana untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) seperti yang dilakukannya pada tahun 2005. BLT kali ini akan menghabiskan dana 14 Trilliun Rupiah dengan durasi pemberian selama 7 bulan dan dibagikan kepada 19,1 juta keluarga miskin. Setiap keluarga akan menerima Rp. 100.000 ditambah gula dan minyak goreng. Masih melekat di pikiran kita di tahun 2005 bagaimana kebijakan tersebut pada pelaksanaannya terdapat banyak kekurangan.

Tentunya hal ini harus menjadi bahan evaluasi dari pemerintah mengingat hasil evaluasi yang dilakukan beberapa perguruan tinggi mengenai efektivitas BLT hanya mencapai 90% dari target. Permasalahan terbanyak adalah mengenai pendataan dan aspek-aspek keadilan bagi yang tidak mendapatkan. Tak pelak memang ini dapat menimbulkan potensi permasalahan baru di antara anggota masyarakat itu sendiri.

Pada akhirnya, kebijakan BBM memang merupakan sebuah kebijakan yang sangat strategis dan selalu sarat dengan kepentingan politik di luar kepentingan ekonomi itu sendiri. Siapapun pemimpinnya memang akan dihadapkan pada permasalahan yang pelik di tengah guncangan ekonomi yang tidak stabil seperti saat ini. Pemerintah dihadapkan pada dua pilihan yang terasa pahit yakni menaikkan BBM yang nantinya akan menurunkan daya beli riil masyarakat yang memang sudah rendah atau di sisi lain tetap mempertahankan subsidi namun tentunya akan membuat defisit anggaran semakin membesar. Pemerintah hanya tinggal memilih untuk pro APBN atau pro rakyat?

Rabu, 26 Maret 2008

Kekacauan Ekonomi dan Krisis di Amerika

KEKACAUAN ekonomi saat ini berasal dari kredit macet di sektor perumahan Amerika Serikat (AS). Kekhawatiran akan jatuhnya sektor perumahan AS menyebar hingga memengaruhi sistem keuangan.
Bank sentral AS juga dipaksa agar meminjamkan miliaran dolar untuk mengatasi kredit pasar yang macet. Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan bahwa krisis keuangan di dunia semakin meluas.Hal ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya adalah globalisasi yang menyebabkan krisis keuangan.
Intervensi The Fed sebenarnya lebih efektif ketika mereka membatasi pengaruhnya ke seluruh dunia.Namun, mereka baru melakukan tindakan ketika krisis keuangan telah terjadi secara global. Kini sangat sulit untuk menentukan apakah krisis keuangan akan membuat konsekuensi yang lebih besar terhadap ekonomi dunia.
Para pemimpin negara sering kali tidak bisa membuat inovasi di bidang keuangan agar krisis bisa teratasi. Jika melihat sejarah ke belakang, The Fed sebagai Bank Sentral AS sempat memotong suku bunga dari 6,25% ke 1% pada 2001 untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.
Pada saat itu,bisnis investasi AS turun dan pertumbuhan ekonomi juga jatuh akibat serangan teroris pada 11 September 2001 yang memengaruhi pasar keuangan. Sebelumnya pada 1998, AS juga mengalami keterpurukan di dalam pasar modal akibat skandal LTCM.Ini terjadi pada saat krisis dunia yang dimulai dari Asia pada 1997 menyebar hingga ke Rusia dan Brasil pada 1998.
Pada waktu itu, LTCM yang meminjam banyak uang dari perusahaan lain mengalami kerugian hingga miliaran dolar. Pada akhirnya, LTCM harus dilikuidasi dengan menjual obligasi yang dimiliki. Ini menyebabkan kredit pasar AS berada dalam kekacauan sehingga jalan satu-satunya adalah menaikkan suku bunga. Hal ini menyebabkan The Fed mengambil keputusan dengan menyelamatkan apa pun yang bisa diselamatkan.
The Fed mengajak bank besar di AS yang juga berinvestasi di LTCM untuk mengucurkan dana masing-masing USD3,65 miliar untuk menyelamatkan perusahaan tersebut. The Fed pun mengambil tindakan darurat dengan memotong suku bunga pada 1998 dan usaha tersebut berhasil. Pasar kembali dalam keadaan stabil, tetapi LTCM tidak bertahan.
Perusahaan tersebut dilikuidasi pada 2000. Satu dekade sebelumnya pada 1987,pasar AS juga sempat mengalami penurunan selama satu hari,tepatnya pada 19 Oktober 1987. Ketika indeks saham rata-rata Dow Jones jatuh sebesar 22% sehingga pasar Eropa dan Jepang ikut turun. Program perdagangan di pasar saham New York memperburuk krisis yang terjadi pada saat itu.Kerugian dipicu oleh adanya dugaan bahwa perdagangan dalam negeri dan perusahaan di dalamnya mendominasi pasar uang.
Di lain pihak, ekonomi AS memasuki penurunan ekonomi. Pada saat itu, nilai dolar dikhawatirkan menurun serta adanya kenaikan suku bunga Jerman, akibatnya pasar internasional mengalami kekhawatiran ganda. The Fed mengatasi krisis ini dengan menurunkan tingkat suku bunga.
Dalam hal ini, The Fed mengajak bank-bank besar lainnya di AS untuk menurunkan suku bunganya. Krisis yang terjadi pada 1987 ini tidak begitu berpengaruh terhadap ekonomi dan pasar saham karena segera kembali pulih. Namun, suku bunga yang rendah di Inggris membuat kekacauan di sektor perumahan pada 1988–1989 hingga menekan nilai tukar poundsterling yang mengalami devaluasi pada 1992.
Sementara pada 1985, banyak institusi yang bangkrut dan beralih ke institusi simpan pinjam (S&L) di Ohio dan Maryland. Hal ini menyebabkan banyaknya individu yang membuat deposito di S&L. Akibatnya, kerugian yang dialami sangat besar saat perusahaan tersebut bangkrut. Kebangkrutan S&L menjadi suatu kesempatan bagi Resolution Trust Company untuk mengambil alih aset S&L, termasuk di dalamnya rumah dan institusi yang bangkrut.
Dengan sendirinya, krisis ini mereda dan menjadikan bank besar lebih kuat. Ini karena perusahaan yang terkena krisis dipaksa untuk bergabung dan melakukan konsolidasi dengan sektor bank ritel pada 1990. Wall Street juga mengalami keterpurukan pada 1929 yang dikenal dengan nama Black Thursday.
Saat itu adalah masa terburuk AS dalam sejarah ekonomi global dan diikuti depresi berat pada 1930. Pasar berada di titik terbawah pada 1932. Butuh waktu selama 25 tahun untuk memulihkan keadaan ekonomi AS

Selasa, 04 Maret 2008

RESENSI BUKU : Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience.

KEBIJAKANyang didokumentasi baik,bisa dijadikan dasar pengelolaan makroekonomi. Kita tentunya tidak ingin terjadi lagi krisis ekonomi mendera bangsa ini.
Meroketnya harga minyak dunia hingga menyentuh 100 dolar AS dan krisis subprime mortgage di AS merupakan tantangan baru dari sisi eksternal yang perlu dicermati agar ekonomi kita tidak terpuruk dalam lobang yang sama untuk kedua kali.
Penguatan fundamental makroekonomi serta keakuratan membaca sinyal krisis dan kebijakan yang tepat merupakan “necessary condition”dalam pencegahan krisis,di mana hal tersebut dapat diperoleh melalui pengalaman masa lalu. Namun tidak jarang, sulitnya pembuat kebijakan mendapatkan kebijakan dan pengalaman masa lalu tersebut karena tidak terdokumentasikan secara baik.
Kita bersyukur seorang guru besar dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Miranda S Goeltom, mendokumentasikan hasil-hasil riset dan paper mengenai kebijakan makroekonomi baik sebelum dan sesudah krisis dalam suatu buku yang berjudul Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience.
Buku dalam bahasa Inggris ini terdiri atas tujuh bagian dan 27 bab serta membahas secara populer perkembangan kinerja,permasalahan, dan kebijakan makroekonomi di Indonesia berdasarkan urutan waktu mulai dari sebelum dan pasca krisis pada 1997–1998. Buku tersebut tidak hanya membahas moneter, perbankan,dan sektor keuangan,tetapi juga cakupan yang lebih luas seperti fiskal, sektor riil, tenaga kerja, kemiskinan.
Buku ini semakin komplet lagi karena dibuat seorang akademisi sekaligus pembuat kebijakan. Dengan pengalamannya pada kedua bidang tersebut,penulis dapat menjembatani antara teori dan pengambilan putusan praktis, khususnya lagi pada masa transisi ekonomi terpimpin ke ekonomi pasar.
Koordinasi dan Pelajaran Deregulasi
Dalam buku ini, Miranda mem bahas aspek koordinasi dalam skop lebih luas.Secara sederhana dan lugas, Miranda memaparkan hubungan antarsektor ekonomi dalam konsep financial programming and policy (FPP).Kebijakan makroekonomi dalam FPP tersebut mencakup empat sektor utama dalam perencanaan kebijakan, yaitu sektor riil, sektor fiskal, sektor moneter, dan sektor eksternal.
Keempat sektor tersebut saling terkait dan efektivitas kebijakan masing-masing sektor sangat bergantung pada sektor lainnya.Ego sektoral dapat mendorong terjadinya krisis ekonomi atau setidaknya semakin merosotnya kesejahteraan rakyat. Pentingnya koordinasi antara semua sektor ekonomi baik makro dan mikro tersebut dijabarkan di bagian 1 dan 2 dalam buku ini.
Selain koordinasi antarsektor, deregulasi komprehensif ekonomi juga merupakan faktor penting dalam menjaga ketahanan ekonomi. Sebagai pengikutekonomipasar,penulis menyadari bahwa deregulasi sektor ekonomi dan keuangan dapat mendorong suatu perekonomian menjadi lebih efisien dan berdaya saing tinggi di dunia internasional.
Tetapi sebagaimana negara berkembang, Indonesia juga menghadapi permasalahan adanya distorsi ekonomi karena informasi yang tidak simetris di pasar. Dengan demikian, deregulasi ekonomi yang dilakukan juga harus sejalan dengan kondisi perekonomian suatu negara.Deregulasi sektor keuangan yang dilakukan pada 1 Juni 1983 dan Pakto 27 Oktober 1988 telah mengubah secara fundamental sektor keuangan dari sistem autorian ke mekanisme pasar.
Sebagai pembuat kebijakan yang memiliki dasar akademik yang kuat, penulis telah mengingatkan bahayanya deregulasi yang dilakukan Indonesia khususnya lagi Pakto 88. Ternyata, dugaan penulis benar setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997– 1998. Pelajaran yang diperoleh dari krisis ekonomi pada 1997– 1998 tidak hanya dari sisi kesalahan urutan deregulasi, tetapi juga menyangkut aspek yang lebih luas.
Deregulasi sektor keuangan tanpa diimbangi dengan regulasi yang memadai, pengawasan, dan GCG yang baik ternyata juga dapat menyebabkankelemahan fundamental di tingkat mikro atau perusahaan. Tidak kuatnya fundamental ekonomi Indonesia di tingkat mikro tercermin dari lima permasalahan.
Pertama, tingginya ketergantungan pada utang luar negeri. Kedua, utang luar negeri sektor perbankan nasional mempunyai risiko tinggi dari jatuh waktu dan currency missmatch. Ketiga, Kondisi keuangan perbankan lemah karena banyaknya kredit bermasalah. Keempat, putusan pemberian kredit khususnya bank pemerintah sangat kuat dipengaruhi intervensi pemerintah atau tekanan politik atau koneksi.
Kelima, kelemahan GCG. Manajemen yang tidak sehat dan transparan mengakibatkan terjadinya inefisiensi Penguatan di sisi mikro tidak hanya penting untuk sektor keuangan sendiri, tetapi juga penting dalam rangka meningkatkan efektivitas kebijakan moneter.Dengan kondisi dunia usaha yang sehat, fungsi intermediasi perbankan dapat berjalan normal dan stabilitas keuangan dapat terjaga sehingga pada akhirnya transmisi kebijakan moneter dapat berjalan efektif.
Selanjutnya, kesinambungan pertumbuhan ekonomi dapat terjamin dan kemiskinanyangmerupakanmusuh rakyat saat ini dapat dikurangi. Uraian lengkap mengenai penguatan ekonomi pasar, fundamental ekonomi,mikroekonomi, dan sektor keuangantersebutdipaparkansecara terperinci di bagian 2, 3 dan 4 dalam buku ini.
Peranan Pendidikan
Miranda juga meyakini bahwa pendidikan merupakan unsur terpenting dalam meningkatkan produktivitas dan mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju.Pendapat tersebut didasarkan pada pemikiran teori modern ekonomi, seperti Solow Growth Model.
Dalam model tersebut dikemukakan bahwa technological progress merupakan faktor utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.Pengalaman Jepang dalam mengejarketertinggalan ekonominya sehingga dapat menjadi negara maju ditunjang kemampuan negara tersebut menguasai pengetahuan dan teknologi. Sebagai penulis yang mempercayai pentingnya peranan pendidikan dan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan kapasitas melalui pendidikan dan penguasaan teknologi merupakan keharusan bagi suatu negara.
Salah satu pendekatan untuk meningkatkan kualitas pekerja adalah melalui peningkatan pendidikan dasar, pelatihan, dan peningkatan akses semua lapisan masyarakat melalui kebijakan pendidikan yang optimal. Buku ini kaya dengan pengalaman sehingga mampu menjembatani antara teori ekonomi dan praktik pengambilan putusan mengenai kebijakan makroekonomi di lapangan.
Dengan demikian,tidaklah mengherankan jika buku ini penting dibaca mahasiswa yang mendalami kebijakan ekonomi Indonesia dan ekonom profesional karena memiliki informasi berharga mengenai teori dan kebijakan yang terkaitdenganmakroekonomi.

Jakarta dan Riwayat Kota Banjir

Siapa sangka dibalik gagah dan perkasanya pembangunan Kota Jakarta ternyata menyimpan satu titik lemah yakni kegagalan sistem manajemen air. Hanya dalam waktu satu hari hujan lebat yang melanda ibukota negara ini, air telah menenggelamkan sebagian wilayahnya. Siklus 5 tahunan banjir ibukota pun terbantahkan. Hal ini berarti setiap saat semua penduduk Jakarta harus siap dengan akibat terburuk akibat hujan dengan volume besar. Sementara itu, dapat kita bayangkan berapa besar kerugian akibat banjir. Sebagai ilustrasi, Akibat banjir 1 Februari 2008, Angkasa Pura II menyatakan mengalami kerugian sebesar Rp 5,4 Miliar akibat tak beroperasi karena cuaca buruk. Belum lagi, penumpang pesawat yang terlantar di bandara akibat akses dari dan ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta terputus.
Namun, hal itu belum seberapa jika dibandingkan dengan kerugian akibat berhentinya roda perekonomian pada saat banjir. Tak hanya itu, kerugian fisik dan mental akibat banjir juga harus diperhitungkan. Hal ini sebenarnya tak harus terjadi jika pengelolaan air dilakukan secara benar dan menyeluruh.
Saatnya berbenah
Sebenarnya, masalah banjir bukan hanya masalah saat ini, dahulu sejak zaman Pemerintahan Belanda pun Jakarta sudah dihantui masalah ini. Akibat dari letak geografisnya yang lebih rendah dari permukaan laut, kapanpun dan tanpa hujan besar pun Jakarta rawan cengkeraman banjir. Oleh karena itu, Banjir Kanal Barat dan situ-situ dibangun untuk mengelola air dengan benar. Namun, seiring bertambahnya penduduk dan kebiasaan buruk masyarakat yang selalu menjadikan sungai menjadi tempat sampah berjalan yang dekat dan mudah untuk digunakan, maka sistem manajemen air harus diubah dan diperbaiki.
Sudah saatnya pemerintah Jakarta membuat blue-print manajemen air yang komprehensif dan terintergrasi dengan daerah – daerah penyangga di sekitarnya. Jakarta merupakan muara dan hilir dari beberapa sungai besar yang mengalir dari luar kota sehingga perbaikan juga harus dilakukan dari hulu sungai-sungai tersebut. Kemudian pemberdayaan kembali situ-situ sebagai tempat parkir air di daerah sekitar Jakarta juga harus dilakukan. Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup, jumlah situ di daerah sekitar Jakarta jumlahnya terus-menerus menyusut dan banyak yang kritis, sehingga perlu revitalisasi peran situ sebagai tempat penampungan air.
Hal yang paling penting dilakukan adalah penyuluhan dan pendidikan bagi masyarakat di sekitar bantaran sungai agar tidak menjadikan sungai sebagai tempat sampah raksasa. Selain itu, pemerintah Jakarta juga sebaiknya menyediakan tempat-tempat sampah bagi warga di sekitar bantaran sungai agar mereka tak lagi membuang sampahnya di sungai. Selain itu, konversi lahan tempat penampungan air menjadi lahan-lahan bisnis dan permukiman tak boleh lagi terjadi. Jangan hanya karena mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sebesar-besarnya kemudian melupakan kewajiban untuk menjaga lingkungan dan pengelolaan air secara benar.
Semua ini membutuhkan penegakan hukum yang kuat dari pemerintah dan partisipasi semua lapisan masyarakat untuk menjalankan ini semua, karena Jakarta tak hanya menjadi simbol dan contoh pembangunan daerah tetapi juga menjadi ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga nantinya tak lagi kita melihat seorang presiden harus berganti mobil dan bermacet-macetan hanya karena banjir. Apa kata dunia!

LEMBAGA MEDIASI PERBANKAN INDEPENDEN: SOLUSI KEBUNTUAN NEGOSIASI NASABAH DAN BANK

LEMBAGA MEDIASI PERBANKAN INDEPENDEN: SOLUSI KEBUNTUAN NEGOSIASI NASABAH DAN BANK

Oleh : Fakhrul Aufa

Industri perbankan adalah bisnis yang mengelola dana masyarakat dalam jumlah sangat besar. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), hingga akhir Agustus 2007, dana pihak ketiga (DPK) atau uang masyarakat yang dihimpun perbankan mencapai Rp1.389 triliun. Sementara kredit yang disalurkan mencapai Rp936,8 triliun.
Wajar saja, dengan dana sebesar itu, muncul friksi atau perselisihan antara nasabah dan bank. Persoalan yang sering kali muncul adalah perselisihan yang tidak diselesaikan secara cepat sehingga melahirkan sengketa antara nasabah dan bank. Sebagai contoh kasus, karena komunikasi yang tidak lancar antara nasabah dan bank, titik temu yang dicari keduanya tidak juga muncul. Akibatnya, nasabah mengadukan sengketa itu ke aparat kepolisian.
Setelah itu, sengketa akan memasuki ke babak baru yang lebih rumit,yakni pengadilan. Masalah yang tadinya bersifat privasi karena hanya melibatkan dua pihak yang bersengketa, terpaksa menjadi konsumsi publik. Buat bank, hal itu tentu publikasi yang buruk,walaupun bank belum tentu bersalah dalam kasus sengketa itu. Sementara bagi nasabah, penyelesaian sengketa di meja hijau juga akan menyulitkan. Pasalnya, nasabah harus menyiapkan dana yang besar untuk membayar pengacara serta mengorbankan waktu untuk urusan pengadilan.
Dari contoh kasus tersebut dapat kita lihat, media atau saluran penyelesaian sengketa yang mekanismenya mudah dan cepat belum muncul di Indonesia. Dalam istilah hukum, cara penyelesaian sengketa itu dikenal dengan istilah mediasi. Melihat kebutuhan itu, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas tertinggi dalam masalah moneter tidak tinggal diam.
Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah tidak selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dapat diakibatkan oleh tuntutan nasabah yang tidak dipenuhi bank, baik seluruhnya maupun sebagian.
Pada gilirannya, ketidakpuasan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank, yang apabila berlarut-larut dan tidak segera ditangani dapat mempengaruhi reputasi bank, mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dan merugikan hak-hak nasabah.
Upaya penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank dapat dilakukan melalui negosiasi, konsiliasi, mediasi, arbitrase, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maupun melalui jalur peradilan. Namun demikian, upaya penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau jalur peradilan tidak mudah dilakukan bagi nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil mengingat hal tersebut memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa nasabah dengan bank bagi nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil perlu diupayakan secara sederhana, murah, dan cepat melalui penyelenggaraan mediasi perbankan agar hak-hak mereka sebagai nasabah dapat terjaga dan terpenuhi dengan baik.
Oleh karena itu, melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/ 2006 tentang Mediasi Perbankan, BI secara khusus mengatur soal pendirian lembaga mediasi perbankan di Indonesia. Merujuk pada data BI, sejak 2006 sampai Maret 2007, jumlah kasus sengketa yang masuk ke mediasi perbankan BI tercatat sebanyak 77 kasus. Jenis produk yang paling menimbulkan sengketa adalah sistem pembayaran, diikuti penyaluran kredit,dan penghimpunan dana melalui produk simpanan.
Namun, sampai saat ini, lembaga mediasi perbankan independen tak kunjung terbentuk. Kalaupun ada, mediasi perbankan yang berjalan saat ini masih bersifat sementara dan menjadi bagian dari BI. Sesuai peraturan, paling lambat akhir 2007, lembaga mediasi perbankan yang independen sudah harus terbentuk. Lalu pertanyaan berikutnya ialah Kenapa harus independen?
Karena lembaga itu nantinya berfungsi sebagai mediator atau penengah antara nasabah dan bank. Artinya, lembaga mediasi tidak boleh diisi orang-orang yang terkooptasi atau terkait dengan pihak-pihak yang bersengketa.
Tujuannya, lembaga itu tidak berat sebelah. Kendati begitu, yang menjadi ganjalan, dalam peraturan disebutkan bahwa lembaga mediasi perbankan yang independen nantinya dibentuk asosiasi perbankan. Bukankah lembaga mediasi seharusnya tidak boleh terkooptasi atau terkait dengan pihak yang bersengketa? Oleh karena itu, lembaga mediasi perbankan sebaiknya tidak dibentuk asosiasi perbankan.
Sebab, bisa saja asosiasi perbankan menunjuk dan menempatkan orang-orang yang bisa “kongkalikong”. Apalagi, kalau lembaga mediasi perbankan “dihidupi” dana yang dikumpulkan asosiasi dari bank-bank. Otomatis, lembaga itu bakal mengalami perasaan sungkan kepada bank saat menjadi mediator. Akan lebih baik jika lembaga mediasi perbankan diisi orang-orang yang tidak bersinggungan dengan bank atau nasabah, misalnya orang-orang yang berasal dari kalangan akademisi atau profesional yang dipilih lewat proses terbuka yang bisa diketahui publik.
Tentunya, mereka harus menjalani fit and proper test untuk memastikan bahwa mereka layak secara kemampuan dan kredibel dalam hal menjalankan sebuah negosiasi. Agar orang-orang itu menguasai seluk beluk perbankan, mereka bisa mengikuti pelatihan atau pendidikan singkat soal bisnis dan produk perbankan dari BI.
Sedangkan untuk biaya operasional, pada tahap awal BI memberikan suntikan dana ke lembaga mediasi itu. Tapi, ke depan, lembaga itu harus mencari dana sendiri, misalnya dengan menjadi konsultan dalam hal kemampuan negosiasi di perusahaan-perusahaan nonbank. Alhasil, pendirian lembaga mediasi perbankan yang independen sudah sangat mendesak, terutama karena jumlah pengaduan sengketa perbankan terus meningkat. Lalu seperti apa bentuk Lembaga Mediasi Perbankan Independen (LMI) yang ideal?
Alternatif Pertama LMI dapat berbentuk yayasan dengan dasar hukumnya adalah Undang-undang No. 16 Tahun 2001 tanggal 6 Agustus 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 28 tahun 2004 tanggal 6 Oktober 2004. Sebagai contoh alternatif pertama ialah pada pendirian Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Kemudian, Alternatif Kedua LMI dapat berbentuk Perkumpulan Berbadan Hukum dengan Dasar hukum Ketentuan Tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum (Rechts persoonlijkheid van vereenigingen) Keputusan Raja No. 2 tanggal 28 Maret 1870, S.1870 : 64).Sebagai contoh alternatif kedua ialah pada pendirian Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI).
Lembaga Mediasi Perbankan dapat didirikan oleh Asosiasi atau perserikatan perdata/ikatan sedangkan himpunan yang bukan badan hukum tidak bisa menjadi pendiri Yayasan/Perkumpulan Berbadan Hukum, namun mungkin menjadi anggota Perkumpulan Berbadan Hukum. Sebagai contohnya BAPMI,yang didikan oleh 4 SROS, yakni BEJ, BES, KPEI dan KSEI, kini mempunyai 22 anggota (termasuk 4 pendiri SROS tersebut).
Sebagai suatu lembaga mediasi, LMI harus benar-benar independen. Oleh karena itu pengawasan terhadap jalannya proses mediasi tidak dilakukan oleh Bank Indonesia, tapi oleh Dewan kehormatan yang khusus ditunjuk untuk mengawasai, mengevaluasi dan menetapkan ada tidaknya mediator yang bertindak keliru/salah, menyalahgunakan atau melampaui batas kewenangan. Sehingga diharapkan akan terbentuk Lembaga Mediasi Perbankan yang benar-benar independen dan dapat bekerja dengan optimal.
Kelak, ada dua hal yang dapat menjadi fungsi dari LMI. Pertama adalah complain management. Mekanisme pengaduan tersebut nothing to do dengan LMI. Lembaga itu baru akan ada dan diperlukan kalau ternyata dari komplain normal ini nasabah juga tak puas, sehingga nasabah bisa mengajukan ke pengadilan. Tetapi, kalau menempuh mekanisme pengadilan, akan mahal biayanya. Oleh karena itu, nasabah bisa pergi ke lembaga mediasi yang telah dibentuk ini. Lembaga ini tentunya akan berfungsi sebagai lembaga mediasi perbankan. Dan, tentu saja, lembaga mediasi itu bisa hanya berperan sebagai mediator yang mempertemukan dua pihak tersebut. Atau, lembaga ini bertindak sebagai arbitrator. Tapi, yang jelas, kedua kemungkinan itu bisa saja dilakukan. Selain sebagai mediator, LMI dapat juga dilengkapi dengan fungsi arbitrator.
Terbentuknya LMI tak hanya menguntungkan bagi nasabah, perbankan juga akan mendapat keuntungan dari terbentuknya LMI. Ada beberapa keuntungan yang bisa didapat oleh perbankan akibat terbentuknya LMI. Pertama, bank bisa membuat nasabah menjadi lebih betah karena setiap ada persoalan yang dirasakan oleh nasabah dapat dijawab dengan jelas oleh bank. Bila nasabah makin betah, diharapkan akan menunjukkan loyalitas nasabah yang akan makin teruji.
Kedua, adanya komplain dapat menjadi informasi berharga bagi manajemen bank. Dengan demikian, kalau manajemen bank mengetahui bahwa ternyata komplain banyak terjadi pada bidang tertentu, misalnya, dapat segera diperbaiki. Terkait dengan loyalitas nasabah, dengan adanya komplain nasabah, akan menjadi warning bagi bank. Artinya, manajemen bank yang bersangkutan menjadi tahu, aspek mana saja yang banyak dikeluhkan nasabah. Dengan demikian, aspek tersebut dapat langsung diperbaiki sisi lemahnya.
Manfaat lain bagi bank, bagian market research pada bank tersebut jadi mengetahui kelemahannya di mana saja. Hal ini menjadikan efisiensi karena market research tak perlu menyewa supervisi dari luar. Selain itu, reputasi bank bersangkutan makin bagus karena layanan bank tersebut juga mengalami perbaikan. Hal lain, bila terdapat negative publicity, bisa segera diketahui atau diminimalisasi. Daripada ketidakpuasan nasabah terhadap suatu bank dituliskan di surat pembaca media massa, lebih baik langsung ditangani. Sebab, kalau nasabah komplain di media massa, setidaknya, reputasi bank tersebut bakal buruk. Jadi, sekali lagi, jangan dilihat lembaga ini hanya untuk konsumen semata. Karena, banyak juga manfaatnya bagi bank. Walaupun namanya perlindungan pada nasabah, tapi, sebetulnya, banyak manfaatnya untuk kedua pihak.
Sedangkan buat nasabah, lembaga mediasi perbankan akan memberikan jaminan terhadap perlindungan konsumen di industri perbankan. Sementara itu, Bagi BI sendiri, keberadaan lembaga mediasi perbankan akan sangat membantu mewujudkan pilar keenam Arsitektur Perbankan Indonesia,yakni perlindungan nasabah.Yang paling penting, Lembaga mediasi perbankan independen dapat melancarkan kembali saluran komunikasi dan negosiasi antara nasabah dan bank yang sempat mengalami kebuntuan.



Kedelai dan Republik Tahu-Tempe




Belum lagi selesai masalah kelangkaan minyak tanah di kalangan masyarakat, masyarakat kembali dikejutkan dengan kelangkaan lauk-pauk yang selama ini dikenal akrab yakni tahu dan tempe. Produksi tahu dan tempe terus menurun karena banyak produsen yang tak mau lagi berproduksi akibat tingginya biaya bahan baku. Tak ayal lagi, selama beberapa hari ini tahu dan tempe seakan menghilang dari peredaran. Pukulan telak lagi bagi masyarakat kecil yang terkena dampak langsung.

Tahu-tempe seakan menjadi pendamping makanan pokok masyarakat kecil yang tak diperkenankan akan naik harganya. Tak mengherankan dan sudah menjadi rahasia umum di masyarakat kita, mulai dari presiden, birokrat, pelajar dan mahasiswa sampai residivis pun suka dengan tahu-tempe.

Naiknya harga kedelai, bahan baku tahu-tempe, memang tak dapat dihindarkan karena negara ini menggantungkan kedelai dari impor. Tingginya kebutuhan domestik yang tak dapat dipenuhi oleh produsen dalam negeri memaksa bahan baku harus didatangkan dari luar negeri. Sungguh ironis, tahu dan tempe yang selama ini akrab di sekitar kita ternyata sangat bergantung pada pasokan dari luar negeri. Padahal, Indonesia merupakan negara produsen tahu-tempe terbesar di dunia.

Gagalnya Ketahanan Pangan
Kelangkaan dan mahalnya bahan baku tahu-tempe menunjukkan bahwa ketahanan pangan, terutama kedelai ternyata belum maksimal. Ini merupakan sinyal yang sangat berbahaya bagi pemerintah mengingat untuk menjamin ketahanan pangan saja, pemerintah belum maksimal, bagaimana bisa memakmurkan rakyat yang menjadi tujuan luhur dari berdirinya bangsa ini?

Gejala kelangkaan kedelai memang telah terjadi beberapa tahun silam, ketika banyak petani mengonversi lahan pertanian kedelainya menjadi lahan – lahan jagung dan tanaman hortikultura lainnya. Harga jual kedelai yang rendah menjadi alasan kenapa petani melakukan hal tersebut.

Pemerintah bukannya tinggal diam. Selama beberapa tahun belakangan ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mendorong peningkatan produksi kedelai. Melalui program Bangkit Kedelai misalnya, pemerintah telah menargetkan produksi kedelai secara besar-besaran. Namun, belum lama dan selesai program tersebut, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan baru dengan menghapus bea masuk kedelai.

Tentu saja, kebijakan tersebut tak dapat diandalkan terus menerus, sebab hal itu hanya efektif dalam meredam kenaikan harga dalam jangka pendek saja. Kebijakan jangka panjang pun harus kita pikirkan. Hal yang dapat dilakukan pemerintah adalah memberikan insentif bagi petani agar kembali menanam kedelai, insentif dapat berupa bibit gratis, subsidi pupuk, perbaikan sarana dan prasarana pertanian, dan peningkatan harga jual kedelai di pasaran.

Menurut survei di lapangan, kedelai produksi dalam negeri ternyata lebih disukai ketimbang produksi luar negeri, dari segi kualitas dan hasil produk. Ini juga merupakan sebuah keuntungan sendiri bagi negeri ini jika ingin memperbaiki skema kebijakan ketahanan pangan kedelainya. Mengingat, kedelai adalahbahan baku makanan yang sangat digemari di Republik ini dan dapat menjadi identitas bangsa.